Pesan Mohammad Natsir tentang Ghuraba’

Menarik melihat pemikiran ulama besar Mohammad Natsir tentang ghuraba’. Kata ini ada dalam hadits Rasulullah Saw, “Islam bermula dalam keadaan asing, dan akan kembali terasing seperti semula, maka beruntunglah orang-orang yang terasing (ghuraba’).” (HR Muslim)
Menurut Natsir, Islam itu pada permulaannya gharib, asing, dicela orang banyak karena tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku. Tetapi ia kemudian berkembang terus, hingga mencapai puncak ketinggiannya. Sesudah mencapai puncak, maka tibalah saatnya menurun, menurun…
Begitulah jalan sejarah. Tatkala ilmu pengetahuan sudah berkembang, orang gemar membaca kitab-kitab yang tebal, kita fiqih, ilmu Kalam yang sangat rumit, tasawuf dan lain-lain. Kitab Al-Qur’an tidak lagi dibaca, hanya jadi pajangan di rumah. Mereka Islam juga, tapi menjadikan Qur’an dan Sunnah ini menjadi gharib.
Islam akhirnya menjadi asing kembali di tengah-tengah umat. Bukan di tengah-tengah orang lain. Tapi di kalangan umat Islam sendiri.
Maka Rasulullah memperingatkan nanti akan muncul di kalangan umat ini orang-orang yang menegakkan kembali kalimat Allah. Mereka akan tampil di tengah-tengah masyarakat yang cara berfikirnya, kebudayaannya dan akhlaknya telah rusak..
Mereka bukan rasul atau nabi, tapi mereka kelompok masyarakat yang disebut Rasulullah, “Bahagialah bagi Ghuraba’ yang berusaha memperbaiki apa-apa yang sudah dirusakkan orang dari sunnahku.”
Allah menjadikan sesuatu berpasang-pasangan. Ada hak ada batil. Ada aksi ada reaksi. Ada yang merusakkan masyarakat, maka ada pula yang membetulkan yaitu ghuraba’.
Rasulullah juga menjelaskan, “Jikalau fasad sudah merajalela dalam masyarakat, maka Allah tidak akan menghukum semua anggota masyarakat, asalkan saja di tengah-tengah kemungkaran itu masih ada orang yang menantangnya. Maka bukan yang berdosa itu saja yang dihukum, malah keseluruhannya ditimpa azab atau siksa.”
Kemungkaran harus dilawan. Meskipun yang berbuat mungkar itu lebih kuat kekuasaannya. Kalau bertemu mungkar jangan lari. Orang yang melihat mungkar lalu kari, maka ia lari ke jurang. Orang yang melihat mungkar, kalau bisa mencegah dengan kekuasaan atau tangannya. Kalau tidak bisa dengan lisan, kalau tidak bisa dengan hati. Hal ini akan menyelamatkan dirinya dan bila banyak yang mencegah kemungkaran, maka banyak pula yang selamat.
Inilah khittah atau jamaah yang dinamakan Ghuraba’. Kita sudah tidak ada nabi atau rasul. Kita tidak usah menunggu ratu adil. Kita mesti ikut dalam jamaah Ghuraba’. Saudara-saudara yang menyumbang pembangunan masjid 100 ribu rupiah atau 150 ribu rupiah, adalah calon-calon Ghuraba’. Padahal mungkin saudara nanti tidak ikut memakai masjid itu. Itulah kelompok Ghuraba’, orang-orang muslih yang ingin terus memperbaiki masyarakat ini.
Jangan disangka perbuatan-perbuatan saudara-saudara itu perbuatan yang kecil tidak ada artinya dalam lingkungan yang besar. Banyak sekali pengaruhnya dalam bidang pembinaan umat secara keseluruhan.
Di samping saudara mendirikan tempat orang shalat, saudara juga meningkatkan iman saudara sendiri. Dan itu juga berpengaruh pada orang sekeliling tanpa saudara sendiri
Kita selalu optimis. Firman Allah, “Berapa banyak dari golongan yang sedikit mampu mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah dan Allah beserta orang-orang yang tabah.” (QS. Al Baqarah 249). []
Nuim Hidayat
Sumber: Majalah Suara Masjid, edisi Januari 1992. Perpustakaan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).