Pesan Penting Pak Natsir kepada Aktivis Dakwah
Ada pengalaman lain dalam cara Tuan Hasan mendorong saya berfikir, yaitu pernah di suatu ketika di sekolah kami kedatangan seorang penceramah (penginjil) yang bernama Christoffer. Ia berbicara tentang Nabi Muhammad saw, yang pada mulanya ia memuji berbagai kelebihan Muhammad saw. Namun ujung dari keseluruhan uraiannya, pada akhirnya, yang benar hanyalah Jesus Kristus. Kejadian ini kemudian saya ceritakan kepada Tuan Hasan. Ia menganjurkan saya agar menanggapi ceramah tersebut dan memberi berbagai bahan bacaan kepada saya. Atas dorongan itu saya tulis brosur kecil berjudul ‘Muhammad als Profeet’.
Kesempatan lain pada waktu itu ialah perdebatan tentang nasionalisme antara kelompok Islam dengan kelompok Nasionalis (PNI). Soekarno waktu itu menjadi juru bicara PNI. Sebagai Muslim, saya merasa terpukul dengan pandangan Soekarno yang meremehkan Islam. Islam menurut Soekarno, menjadi budaya kelas dua saja (sub kultur). Menghadapi serangan PNI itu, kembali saya didorong Tuan Hasan untuk menanggapinya. Ia selalu menanamkan kebiasaan percaya diri dan jangan takut salah. Jika nanti ternyata salah, perbaiki lagi. Ia selalu memberi tamsil ‘anak itu kalau digendong terus tak akan pandai berjalan’.
Kedua, dalam bidang politik, saya banyak diilhami oleh pemikiran Haji Agus Salim. Bersama saya, yang banyak menimba pelajaran dari H Agus Salim adalah Mohammad Roem, Yusuf Wibisono, Kasman Singodimejo, dan Prawoto Mangkusasmito. Agus Salim juga mendidik generasi muda dengan cara yang sama seperti dilakukan Tuan Hasan.
Pernah pada satu kesempatan saya bersama Prawoto menemukan satu kesulitan. Kesulitan ini kemudian kami utarakan kepada Haji Agus Salim. Diutarakan pendapatnya secara panjang lebar, tetapi tidak secara langsung menjawab pertanyaan kami. Pada akhirnya lalu kami tanyakan lagi, apa yang ingin kami ketahui yaitu untuk memecahkan persoalan. Anehnya justru pertanyaan kami yang akhir ini tak dijawab. Rupanya kami disuruh berfikir sendiri, beliau memberi tahu cara analisisnya, tapi kami sendiri yang harus mengambil keputusan.
Cara inilah yang mendorong kami untuk maju. Beliau memang kami anggap sebagai sesepuh. Para sesepuh (yang benar) biasanya selalu ingin melihat kita memecahkan persoalan sendiri. Setelah benar-benar mengalami kesulitan yang tak dapat kami pecahkan, barulah ditunjukkan bagaimana memecahkan kesulitan yang dihadapi, itupun dengan cara yang tidak langsung. Dan dengan cara itu tumbuh keberanian dan kedewasaan yang pada akhirnya lahir corak kepemimpinan baru.
Ketiga, ialah Syekh Ahmad Syurkati. Dibanding dengan kedua guru saya di atas, saya memang tidak terlalu banyak bertemu dan berdialog dengan Syekh Ahmad Syurkati, karena ia menetap di Jakarta dan Bogor. Tetapi sering juga saya datang ke rumahnya di Jakarta. Rupanya ia banyak menyampaikan pemikiran Rasyid Ridha. Ada sesuatu yang menarik dari pengalaman saya, pada satu kunjungan saya ke rumah beliau. Pada waktu itu kebetulan di rumahnya sedang ada pengajian. Begitu saya masuk saya diperkenalkan dengan para hadirin, yaitu teman-teman dari al Irsyad, seraya berkata, ”Saudara sekalian, saudara Natsir tinggal di Bandung. Ia punya kegiatan pendidikan yang lebih besar dari apa yang kita lakukan.” Ini tentu berlebih-lebihan. Dingin kuduk saya mendengarnya. Tapi begitulah antara lain cara Syekh Ahmad Syurkati.
Dari pertemuan dengan para tokoh di atas salah satu yang patut ditiru ialah cara mereka membimbing generasi muda, tidak dengan mendikte, kita diperlakukan sebagai pribadi. Mereka beranggapan bahwa yang muda itu bisa tumbuh dan mereka berperan sebagai pembimbing. Sehingga hubungan kami tidak kaku.[]
Nuim Hidayat, Dosen Akademi Dakwah Indonesia, Depok.
Sumber: Pesan Perjuangan Seorang Bapak; Percakapan Antar Generasi, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, 2019.