NUIM HIDAYAT

Pidato Hamka pada Sidang Majelis Konstituante (1)

Pada 1956-1959 terjadi suatu peristiwa bersejarah yang monumental di tanah air kita. Saat itu terjadi Sidang Majelis Konstituante yang membahasa masalah dasar negara. Yang menonjol adalah pertarungan Faksi Nasionalis Islam (Faksi Islam) dan Faksi Nasionalis Sekuler (Faksi Sekuler). Faksi Islam diwakili Masjumi, NU dan lain-lain. Sedang Faksi  Sekuler diwakili PNI, PKI dan lain-lain. Perdebatan berlangsung seru dan keras, tapi damai. Tidak terjadi perkelahian fisik di sana.

Sayangnya perdebatan intelektual itu, diakhiri oleh Presiden Soekarno. Soekarno mungkin melihat bahwa perdebatan terlalu bertele-tele dan lama. Atas usulan TNI dan beberapa ulama, Soekarno akhirnya mengeluarkan dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dimana salah satu isinya yang penting adalah Piagam Jakarta menjiwai UUD dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Baca juga: Peristiwa Penting 22 Juni 1945 dan 5 Juli 1959

Kali ini, kita mengutip pidato dari Buya Hamka di Majelis Konstituante (1957) yang sangat menarik untuk dicermati. Silakan menikmati:

Berbeda dalam Mencari Kebenaran

Saudara Ketua, bebas dari rasa takut terlepas dari serba ragam intimidasi, telah tiga minggu lamanya kita memperbincangkan apa yang baik menjadi dasar negara ini. Negara yang kita cintai ini, negara yang telah kita tegakkan dengan darah dan air mata. Kita keluarkan segenap yang terasa,kita nyatakan pikirn dan kita adu, semoga dapat kita padu. Kita bertemu dengan satu titik pertemuan, yaitu cinta tanah air. Kita tidak akan bersempit paham mendengar pendapat orang lain, yang berbeda dengan pendapat kita. 

Kami dari pihak Islam umumnya, dari Fraksi Masyumi khususnya mendengarkan dengan hati-hati keterangan-keterangan yang dikemukakan oleh pihak yang mempertahankan Pancasila dari Saudara-Saudara yang mempertahankan Pancasila pun telah mendengarkan pula pendirian kami.

Mungkin pula dalam mencari, menyaring dan memperjuangkan pendapat, ada yang kadang-kadang terdorong oleh rasa, sehingga tersinggung tepi pagar, namun hal itu sudah lumrah. Payung panji demokrasi memberikan perlindungan kepada jalan musyawarah kita; sebut apa yang terasa katakana apa yang teringat. Jangan sampai pepatah ‘api padang punting berasap, ramah sudah dapat berbunyi. Hendaklah ‘berkata sehabis rasa, menggarung sehabis saung’. ‘Gayung bersambut, kata dijawab.’  Itulah pula titik pertemuan kita yang kedua, yaitu sama-sama mencari yang benar.

Jiwa Semangat Proklamasi 17 Agustus 1945

Saudara Ketua, anggota-anggota yang terhormat, yang mempertahankan Pancasila selalu menyebut ‘semangat proklamasi 17 Agustus 1945’. Mereka berkata bahwa itulah hakikatnya Pancasila. Kami pun mengakui, sekali-kali tidak membantah akan adanya ‘semangat proklamasi 17 Agustus’, tetapi kami tidak dapat menerima kalau kiranya semangat itu disandarkan kepada Pancasila. Semangat yang sebenarnya dari proklamasi tanggal 17 Agustus, ialah semangat merdeka, semangat tidak akan mau dijajah lagi.

Pekik merdeka itulah yang bersiponggang sejak dari Padang sampai Merauke. Pekik merdeka dibawa oleh udara radio ke seluruh pelosok tanah air sampai ke gunung, ke lurah, ke darat dank e pulau. Merdeka tidak mau dijajah lagi. Di bawah kilatan kalimat itu timbul sendirinya persatuan dan perpaduan kita. Baik dia Islam atau dia Kristen, atau Perbegu dan Parmalim, atau Hindu Bali dan Kaharingan.

Maka semangat merdeka, semangat tidak mau dijajah lagi, oleh masing-masing kita dicari sandarannya, dicari alat untuk menjiwainya. Kita ingin merdeka, kita tidak mau dijajah lagi. Sehingga pada permulaan revolusi terkenallah satu semboyan ‘merdeka atau mati’. Kita tahu bahwa perjuangan itu minta darah, minta air mata, minya nyawa dan minta mati. Sebab pada kita ketika itu hanya kekuatan semangat saja, sedang musuh kita dengan alat senjatanya.

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button