Pidato Hamka pada Sidang Majelis Konstituante (1)
Perjuangan waktu itu artinya ‘esa hilang, dua terbilang’, biarlah mati berkalang tanah, daripada hidup bercermin bangkai. Insting kita takut menghadapi mati. Tetapi kita hendak memberi nilai yang sebenarnya dari kematian itu. Hidup menjadi budak, lebih hina dan rendah harganya, daripada mati karena memperjuangkan cita. Pada saat itu bergunalah kepercayaan, atau iman atau aqidah. Maka masing-masing golongan mencari sandaran penilaian mati itu dalam ajaran agamanya, masing-masing daerah bergerak sendiri, memakai inisiatif sendiri dan kebijaksanaan sendiri. Menghadapi mati atau untuk merdeka. Dan Pancasila lama kemudian, baru dipropagandakan di Amuntai.
Tidak mau dijajah lagi itulah yang menyebabkan kita bersatu. Pekik merdeka melupakan yang lain. Yang rindu kepada Belanda memekikkan kemerdekaan keras-keras, karena takut dibunuh.
Orang Islam, Saudara Ketua, dengan tidak mengingat apakah dia sekarang telah jadi Masyumi atau PNI, NU atau sosialis, Perti atau Partai Buruh menjiwai jiwa semangat proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 itu dengan ajaran agamanya. Orang rela melihat bangkai putranya dibawa pulang berlumur darah, tidak bernyawa lagi, karena spontan terasa bahwa putera yang tewas itu adalah mati syahid.
Tidak ada tempat takut melainkan Allah. Allahu Akbar, hanya Allah Yang Maha Besar, yang lain kecil belaka. Laailaahaillallah, tiada Tuhan tempat menyembah, tempat takut, tempat memohon, tempat berlindung, melainkan Allah. Bila seorang ayah menerima kabar putera harapannya tewas di medan perang, maka yang dinyatakan lebih dahulu, darimanakah masuknya pelor, dari punggungnyalah atau dari hadapannya? Karena kalau dari punggung mungkin dia mati sedang lari menyelamatkan diri, maka diragulah syahidnya. Tetapi kalau dari muka, tandanya dia mati berjuang. Dan salah satu dari tujuh dosa besar ialah ‘tawalla yaumaz zahf’, memalingkan muka di saat bertempur.
Itulah yang kami kenal, jiwa atau menjiwai Proklamasi 17 Agustus, bukan Pancasila! Sungguh saudara ketua. Pancasila itu belum pernah dan tidak pernah, karena keistimewaan hidupnya di zaman Belanda itu menggentarkan hati dan tidak pernah dikenal, tidak popular dan belum pernah terdengar. Yang terdengar hanya sorak Allahu Akbar dan api yang nyala di dalam dada ini sekarang, saudara ketua , bukanlah Pancasila, tetapi Allahu Akbar. Bahkan sebagian besar dari pembela Pancasila sekarang ini, kecuali orang-orang PKI, yang nyata dalam hati sanubarinya sampai saat sekarang inipun, pada hakikatnya adalah Allahu Akbar.
Jika saya tanyakan pada hari ini, kepada salah seorang pembela Pancasila, apakah yang terasa dalam hatinya ketika putra yang dicintainya tewas dan diantarkannya ke pusara, Pancasilakah atau Allahu Akbar? Niscaya dia akan menjawab Allahu Akbar. Dengan demikian baru hatinya akan puas. Hati sanubari yang tidak pernah berdusta.
Allahu Akbar yang tertulis dalam dada saudara itulah sekarang yang kami mohon direalisasikan. Allahu Akbar yang di dalamnya terkandung segala macam sila, baik panca, atau sapta, atau ika, atau dasa. Allahu Akbar yang menjadi pertahanan saudara ketika saudara pernah menghadapi bahaya besar. Allahu Akbar yang menjadi pertahanan saudara di saat maut telah melayang-layang di atas kepala saudara. Allahu Akbar yang kepadaNya putra saudara yang tercinta saudara serahkan. Allahu Akbar yang dengan dia saudara sambut waktu lahir dari perut ibu.
Janganlah ada yang mendustai keadaan, karena masih merah tanah bekas darah tertumpah, belum berlalu puluhan tahun, baru dua belas tahun saja. Dokumentasi masih cukup, bundelan surat-surat kabar masih dapat ditengok. Berapa kali sudah, kekuatan republik kita ini diuji. Satu diantara ujian itu ialah di Madiun. Maka bergemalah pekik Allahu Akbar pada TNI, Siliwangi, dan pada Hizbullah dan kita pun Alhamdulillah, terlepas dari bahaya.
Semangat proklamasi 17 Agustus 1945, bukanlah Pancasila, Saudara Ketua. Bung Karno seorang ahli fikir terbesar di zaman ini, niscaya akan menyebut Pancasila dalam proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, kalau Pancasila itu memang telah ada pada waktu itu. Padahal beliau adalah seorang cerdik pandai yang tidak lengah mencari kata berpadu yang dapat menimbulkan semangat.
Yang ada dalam proklamasi hanya merdeka, dan merdeka itu disambut oleh golongan umat Indonesia yang terbesar, yang 90% dengan dorongan Allahu Akbar. Baik dia Masyumi atau dia PNI. Bahkan mahasiswa pelajar sekolah tinggi yang terdidik berfikir secara Barat datang kepada seorang kyai meminta tuah kebesaran Allahu Akbar. Maka mengatakan bahwa semangat proklamasi tanggal 17 Agustus itu adalah Pancasila, amatlah jauh dari kebenaran. Dan dalam kata kasarnya adalah dusta. Dusta yang pernah dikatakan Abraham Lincoln, ”Dusta hanya laku untuk satu masa bagi satu golongan dan dusta tidak laku buat semua masa dan semua golongan.” Dan dusta yang paling besar ialah mendustai suara hati sanubari kita sendiri. Kalau dibawa merenung agak lama, lepas dari empuknya kursi dan bagusnya mobil, kedustaan itu bisa membawa penyakit jiwa.
Islam Tidak Berkhianat
Saudara Ketua, ada pula anggota yang terhormat berkata,”Barangsiapa yang hendak menukar Pancasila dengan dasar lain, adalah dia berkhianat kepada arwah pemimpin-pemimpin yang terdahulu.” Maka inginlah saya bertanya saudara ketua, dari hati ke hati, minta beliau tunjukkan pemimpin yang terdahulu, yang manakah yang kami cintai, karena kami memperjuangkan Islam sebagai dasar negara ini?