SUARA PEMBACA

Pil Pahit bagi Guru

Guru kembali menelan pil pahit. Bagimana tidak? Dari gaji guru yang tak seberapa dan sering kali pembayaran gajinya ditunda. Kini, tunjangan guru pun harus dipangkas atas nama pandemi. Hal tersebut tentu saja memantik protes dari para guru.

Ikatan Guru Indonesia (IGI) memprotes langkah pemerintah yang memotong tunjangan guru hingga Rp3,3 triliun lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020.

Dalam lampiran Perpres Perubahan Postur dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020, tunjangan guru setidaknya dipotong pada tiga komponen yakni tunjangan profesi guru PNS daerah dari yang semula Rp53,8 triliun menjadi Rp50,8 triliun, kemudian penghasilan guru PNS daerah dipotong dari semula Rp698,3 triliun menjadi Rp454,2 triliun. Kemudian pemotongan dilakukan terhadap tunjangan khusus guru PNS daerah di daerah khusus, dari semula Rp2,06 triliun menjadi Rp1,98 triliun.(Media Indonesia, 20/4).

Kebijakan tersebut diaminkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk menghentikan tunjangan profesi guru PNS dan non PNS. Sebagaimana dilansir dari BANJARMASINPOST.CO.ID bahwa tunjangan profesi yang dihentikan tersebut tercantum dalam Peraturan Sekretaris Jenderal Kemendikbud Nomor 6 Tahun 2020.

Hal ini menegaskan semakin rendahnya keberpihakan pemerintah pada dunia Pendidikan. Padahal, guru adalah tonggak dari pelaksana pendidikan itu sendiri. Tugas guru adalah mendidik dan mencerdaskan anak bangsa. Dengan tugas yang begitu berat tersebut, namun mendapat gaji yang tak bersahabat, akankah berhasil mencetak generasi hebat? Maka jangan salahkan para guru jika semangat mengajar perlahan terkikis akibat gaji yang sangat tipis.

Inilah nasib guru saat ini dalam sistem kapitalis. Berusaha sekuat tenaga mengabdi demi mendidik anak bangsa, namun jasa mereka seolah dianggap biasa saja. Kebijakan di atas jelas menyakiti hati para guru. Seakan menganggap profesi guru bukanlah profesi yang pantas diberi pundi-pundi bernilai tinggi. Seolah profesi guru tidak lebih penting dari profesi yang lain. Ini sama saja meremehkan profesi guru. Padahal tak akan bisa jadi presiden tanpa ada guru. Tak akan bisa jadi menteri, dokter, dosen, pengusaha dan sebagainya tanpa ada guru.

Harusnya semua pihak sadar bahwa tanpa guru, tak akan menjadi siapa-siapa. Lalu, layakkah jika dari gaji yang tak seberapa masih harus dipotong tunjangannya? Jika alasannya adalah untuk penanganan pandemi Covid-19, seharusnya pemerintah bisa mencari dana dari sumber lain.

Kenapa harus gaji guru yang dipotong? Kenapa bukan gaji para pejabat yang setiap bulannya mendapat gaji puluhan hingga ratusan juta rupiah. Dari sini juga menunjukkan ada kelemahan konsep penanganan keuangan negara. Karena, jika konsep penanganan keuangan negara sudah baik, pasti masalah pengeluaran dan pemasukan sudah jelas tidak akan mengganggu pos yang satu dengan pos yang lain.

Hal ini sangat berbeda dengan masa ketika Islam pernah diterapkan menjadi sistem negara kekhalifahan selama tidak kurang dari 13 abad. Guru adalah profesi yang dianggap sangat penting dan mulia. Sehingga gaji yang diberikan sangatlah besar. Karena guru adalah tonggak yang mencetak generasi hebat. Generasi cerdas tak hanya dari sisi IPTEK, namun juga dari sisi keimanan dan takwa. Maka kesejahteraan guru sangat diperhatikan.

Sebagaimana pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, terdapat kebijakan pemberian gaji kepada para pengajar Alquran masing-masing sebesar 15 dinar, di mana satu dinar pada saat itu sama dengan 4,25 gram emas. Jika satu gram emas Rp500 ribu saja, dalam satu dinar berarti setara dengan Rp2.125.000,00. Dengan kata lain, gaji seorang guru mengaji adalah 15 dinar dikali Rp2.125.000, yaitu sebesar Rp31.875.000.

Dengan demikian, tampak jelas perbedaan pandangan Islam dengan pandangan sistem kapitalis saat ini terhadap peran guru. Dalam Islam, pendidikan adalah pilar peradaban. Dan guru adalah arsiteknya. Sekuat apa pilar itu akan berdiri tegak, tergantung pada bagaimana arsitek menanganinya.

Maka tak ada pilihan lain bagi pemerintah, jika ingin mewujudkan generasi hebat maka kesejahteraan guru harus diprioritaskan. Sehingga wajib bagi pemerintah untuk berkaca pada sistem Islam yang telah terbukti keberhasilannya dalam menjamin kesejahteraan guru dan mencetak generasi emas. Wallahu a’lam!

Nusaibah Al Khanza
(Admin Komunitas Aktif Menulis, Pemerhati Kebijakan Publik)

Artikel Terkait

Back to top button