Pilpres 2024: Rezim Versus Oposisi
Kontestasi Pilpres 2024 bakal diwarnai perlagaan di gelanggang politik antara kekuatan rezim dan oposisi. Dalam alam demokrasi yang murni —pertaruhan pertarungan hal tersebut harus patut disyukuri, itu sebagai kepantasan dan keniscayaan bahwa proses demokratisasi itu tengah berjalan dengan benar, on the right track!
Itu ditanda-tandai dengan semakin kentaranya penampakan koalisi-koalisi partai mau mengarah kemana. KIB dibentuk lebih dini, banyak analisis mengira sebelumnya, KIB bakal melakukan segregasi politik dari induknya dulu partai oligarki yang dilokomotifi PDIP.
Tetapi, ternyata, boleh jadi sesungguhnya hingga kini pun mereka masih berada di kereta api yang sama. Hanya saja KIB berkehendak berganti peran, dari semula sekadar gerbong, dialah maunya yang ingin menjadi lokomotif, menggeser PDIP semula pemegang komando.
Bukan karena faktor siapa calon Presiden yang akan diusungnya, dengan posisi Ganjar-Puan atau Puan Ganjar. Melainkan, karena berada tergantung di hasil berkesepakatan keputusan faktor penguasa rezim. Yang semula dalam struktur politik berkuasa mereka bermatra Megawati-Jokowi, sekarang menjadi Jokowi-Megawati.
Artinya, untuk menegasikan dan melegitimasikan bahwa Jokowi yang sudah di-back up KIB, bukan lagi petugas partai dari PDIP. Maka, sudah dapat pasti diprediksikan KIB- Jokowi akan bersanding dengan PDIP-Megawati. Posisi tawarnya yang terjadi Jokowi-Megawati bersejajar keduanya sebagai King Maker, bersepakat mengusung pasangan calon Presiden Ganjar-Puan.
Maka, muaranya KIB-PDIP tetap menjelma dan mewujud menjadi kekuatan rezim penguasa lama. Tak lain tak bukan merupakan hereditasnya yang akan mempertahankan dan melanjutkan program-program terdahulu dengan back up para oligarki korporasi konglomerasi. Yang mana Jokowi belum tuntas merampungkan agenda janji-janjinya— bukan ke rakyat, tapi ke sindikasi oligarki itu. Dengan kata lain, koaliasi ini bentuk lain dari manifestasi perpanjangan kekuasaan Jokowi 3 periode yang memang berbenturan dengan UUD 1945.
Sedangkan, partai NasDem yang semula menjadi bagian anggota gerbong partai oligarki dari penguasa rezim melakukan “pemberontakan”. Keluar untuk menegasikan jati diri bahwa NasDem — seperti dulu jejak sejarahnya “memberontak “ Golkar, itu bukan partai oligarki lagi, membuat kejutan dan terobosan dengan membuktikan melakukan apa yang harus dilakukan dengan kembali membuncah narasi melalui penegakan prinsip-prinsip kepantasan, kelayakan dan kemurnian demokratisasi.
Melakukan Rakernas di JCC tidak dengan cara konvensi menentukan pasangan calon Presidennya, tetapi dengan cara bottom-up melalui DPW, DPC dan ranting-nya dari seluruh Indonesia untuk kemudian merekomendasikan calon-calon Presidennya. Itulah yang disebut manifestasi perwujudan kemurnian demokrasi: tidak saja calon-calon Presiden itu direfleksikan dan diekspresikan dari aspirasi dan partisipasi rakyat kebanyakan di bawah, NasDem pun dengan sangat berani melawan arus dan membalikkan kecenderungan bahwa partai itu hanya sebagai alat kendaraan politik, yang tiada lain menafikan kemudian hanya mengusung calon Presidennya selaku ketua umumnya.
Bahkan, lebih jauh dari sekedar yang menjadi tradisi itu, NasDem justru akan mengembangkan posisi tawarnya —sebagaimana dijadikan mottonya juga dikumandangkan oleh Surya Paloh dalam pidatonya untuk mengokohkan perubahan kebangsaan ke-Indonesia-an dengan kembali menjunjung tinggi kedaulatan rakyat ke depan, justru NasDem berikhtiar politiknya memiliki keinginan yang mulia untuk berkoalisi dengan partai-partai oposisi, PKS dan Partai Demokrat.
Dan semoga saja ajakan NasDem itu disambut oleh partai-partai koalisi itu dengan lapang dada, kesungguhan hati dan “melawan” bersama bertiga NasDem, PKS dan PD untuk mewujudkan sebagaimana grup band Scorpion mendendangkan lagu “Wind of Change” menandai ketika banyak arus perubahan di dunia, robohnya tembok Berlin, pecahnya negara-negara koloni Rusia saat itu, demikian juga angin perubahan yang diinginkan oleh Indonesia sekarang dan ke depan.
Anies Baswedan yang memang sudah digadang-gadang banyak partisipasi publik yang diharapkan membawa dan memimpin angin perubahan untuk menggantikan Jokowi, adalah satu —dan semoga menjadi nomor 1, dari yang direkomendasikan oleh hasil Rakernas NasDem itu disepemahami juga oleh PKS dan PD. Sehingga, ketiganya bisa menambatkan hati menuju pelaminan pasangan calon Anies-AHY akan menjadi satu-satunya poros yang dilahirkan kelompok oposisi dengan membawa kekuatan energi besar sentrifugal untuk dapat menumbangkan kekuatan rezim penguasa itu.