RESONANSI

Pinjol itu Lintah Digital, Racun Baru Masyarakat

Resmi tidak resmi atau legal tidak legal bagi pinjol itu tidak ada bedanya. Dua-duanya mencekik dan memeras para peminjam, penggunanya.

Bahkan, itu terkesan “melegalisasi” yang sesungguhnya tak lebih dari perbuatan tindak kriminal: pemerasan, pembegalan, dan penggelapan. Semuanya terselubung di bawah payung hukum OJK.

Bunga boleh saja di batas pagu ketentuan aturan OJK bagi pinjol resmi. Tetapi, otoritas siapa yang bisa melarang dengan alasan karena betapa mahalnya biaya fasilitas layanan teknologi digital! Apa alasan itu benar?!

Nyatanya kompensasi teknologi itu bisa berbayar nyaris 100% dari nilai pinjaman. Itu dibebankan kepada peminjam! Tidak masuk akal, gila memang!!

Ya apa boleh buat karena UU Digital Indonesia yang mengatur secara yustisi dan yudisial itu masih tak ada alias bangsa besar tak memilikinya Bro!

Semakin bergajulah tak terkendali ugal-ugalan kesetanan usaha pinjol yang tak patut, tak tertuntut dan tak tersentuh hukum itu mengobok-obok duit masyarakat.

Bak meneguk madu yang sesungguhnya minum racun itu memanfaatkan situasi kesulitan dan kepelikan masyarakat yang tengah mengais-ngais pendapatannya demi kelangsungan hidupnya yang sungguh semakin kian tak menentu itu.

Lantas, apa bedanya dengan ranah paylater atau instrumen alat pembayaran kridit sejenis lainnya yang juga harus membayar penggunaan “beban teknologi digital” nya tetapi tidak dikenakan sebagai bagian biaya pinjaman. Bahkan, sampai berbulan-bulan masih dengan bunga normal kridit sesuai standar aturan OJK. Maksimal 3-4% sebulan.

Beda lagi dengan pinjol. Ada pinjol dengan istilah pinjaman instan kilat yang sudah pasti 99% di ACC cuman satu minggu jangka waktu pinjamannya bunganya nyaris 100% .

Itulah alasan yang bisa dijadikan “hukum legal” membuat mereka berlindung di ketiadaan payung hukum pengaturan penggunaan mesin teknologi digital mempermudah mendapatkan pinjaman atau berhutang itu sekaligus mengeruk nafsu serakah untung bergunung-gunung?

Sementara, peminjam bisa mati bunuh diri, stress berat, ketakutan sanksi sosial atas ancaman “gila-gilaan” yang akan membuat malu dan serasa tak ada artinya harga diri dialami peminjam.

Ditebar dengan bermacam-macam motif-motif ancaman dari sebar data pribadinya di media sosial sampai dianggap sebagai orang yang menggelapkan uang perusahaan oleh ulah para debt collector (DC) pinjol itu.

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button