LAPORAN KHUSUS

Politik Dinasti Berkembang karena Tak Ada Aturan Pencegahnya

Depok (SI Online)-Alhamdulillah diskusi bertajuk “Penumpang Gelap Pilkada: Politik Dinasti dan Investor Politik” Sabtu pagi, 1 Juli 2023 berjalan lancar. Peserta diskusi via zoom itu sekitar 50 orang. Diskusi berjalan seru. Banyak pertanyaan disampaikan kepada pembicara.

Dr Umar Sholahuddin pembicara pertama menguraikan tentang politik dinasti. Politik ini kini berkembang di tanah air karena tidak ada perangkat hukum yang mencegahnya. Beberapa tahun lalu ada yang menggugat politik dinasti ini ke MK, tapi gagal.

Politik dinasti ini bisa ditemui di Jawa Timur, Banten, Sulawesi dan lain-lain. Jokowi misalnya menunjukkan keberadaan politik dinasti ini. Dimana anaknya Gibran menjadi walikota Solo dan menantunya Gibran menjadi walikota Medan. Kini anak bungsunya Kaesang digadang gadang PSI untuk dicalonkan menjadi walikota Depok. Tanpa ada cawe-cawe Jokowi sulit kerabat Jokowi itu berhasil menjadi pejabat di daerah.

Di Madura, Mojokerto dan lain-lain juga terjadi politik dinasti itu.

Nuim Hidayat pembicara kedua menguraikan tentang fenomena politik dinasti ini di Depok. Menurut pengamat politik ini, Kaesang dengan dukungan banyak partai dan investor politik yang kuat bisa menjadi walikota Depok. Meskipun hal itu tidak mudah

Menurut Nuim, Kaesang sulit menjadi walikota Depok. Karena kapasitasnya tidak mumpuni. Ia tidak punya pengalaman organisasi atau pengalaman mengelola masyarakat. Ia hanya berpengalaman di bisnis. Bisnisnya pun yang kini berkembang pesat karena ada suntikan modal pengusaha yang dekat dengan Jokowi. Diantaranya satu grup Sinar Mas yang menyuntik dana milyaran kepada grup usaha Kaesang.

Meski dana yang dimiliki Kaesang besar dan dukungan mesin politik kemungkinan banyak, tapi Kaesang tidak mudah menjadi walikota Depok. Sebab masyarakat Depok mayoritas masih mempercayai perkataan ustaz, kiyai atau ulama. Seperti tahun 2017 pilkada di Jakarta, meski Ahok mempunyai bohir yang melimpah dan dukungan partai politik yang besar, ia tetap kalah. Karena saat itu tokoh tokoh Islam bersatu mendukung Anies Baswedan meski dananya sangat sedikit. Masyarakat Jakarta saat itu menolak politik uang dan sembako yang digelontorkan lawan politik Anies

Menurut anggota MUI Depok ini, kondisi masyarakat Depok adalah antitesa dari masyarakat Solo. Di Solo walikota senantiasa dipegang PDIP. Sedangkan di Depok, walikota sekitar 20 tahun ini dipegang PKS.

Nuim juga mengusulkan agar PKS segera mengumumkan kandidat yang akan diusung untuk walikota Depok 2024. Ini dimaksudkan agar opini di media tidak hanya melulu didominasi Kaesang. Bila calon walikota hanya Kaesang, maka opini publik akan terus menerus membicarakan Kaesang dan tentu ini tidak diinginkan PKS.

Sedangkan Dr Hidayaturrahman menyampaikan tentang investor politik yang kini memainkan peranan penting baik dalam pilkada maupun pilpres. Investor ini memainkan peranan baik dalam menggalang opini media massa, membiayai lembaga survei, membiayai tim sukses dan lain lain. Tentu investor politik ini dalam menggelontorkan dananya tidak gratis kepada sang calon. Ia ingin investasinya ini nanti kembali dalam bentuk kemudahan ijin usaha, penempatan orang orangnya di sekitar pemimpin daerah atau kembali dalam bentuk dana segar.

Para investor ini mengerti bahwa risiko investasi di politik ini bisa untung dan rugi. Mereka berperan dalam pemilu di Indonesia sebenarnya sejak masa Megawati, SBY, dan kini Jokowi. Di daerah daerah juga mereka melakukan peran yang besar. Untuk pemilihan bupati atau walikota dana yang dibutuhkan sekitar Rp20 sampai 30 miliar. Sedangkan untuk pemilihan gubernur berkisar 20 miliar sampai 100 miliar. Untuk pemilihan presiden tentu jumlahnya sudah triliunan.

Tidak mudah untuk menghapus politik uang atau investor politik ini. Karena pengawas pemilu sendiri seringkali lembek menghadapi kenyataan yang ada. Banyaknya politik uang yang berseliweran baik di pilkada, pileg atau pilpres cenderung dibiarkan dan tidak diberikan sanksi yang memadai. [NH]

Artikel Terkait

Back to top button