NUIM HIDAYAT

Politik Gincu Versus Politik Tasawuf

Bila kepemimpinan eksekutif kacau, begitu juga kepemimpinan legislatif. Anggota-anggota DPR kebanyakan niatnya menjabat bukan untuk memakmurkan rakyat. Tapi memakmurkan diri sendiri dan partainya.

Maka jangan heran, belum lima tahun menjabat biasanya anggota DPR rumahnya banyak yang mentereng, mobilnya berderet. Mereka tidak peduli jutaan konstituennya hidup dalam kemiskinan, jutaan rakyat banyak yang tidak punya rumah, jutaan rakyat banyak yang menganggur, dan kini 60 juta orang hidup dalam kemiskinan.

Ya kontras memang. 550 orang anggota DPR, yang katanya wakil rakyat hidup dalam kemewahan, 60 juta rakyat hidup dalam kemiskinan.

Pemimpin Gincu

Memang sekitar 25 tahun ini bangsa kita banyak melahirkan pemimpin-pemimpin gincu. Pemimpin yang bila tampil di depan panggung, memukau, kata-katanya menarik. Jutaan orang awam memberikan like di Youtube.

Lain di depan panggung, lain di belakang panggung. Di belakang panggung menjijikkan. Yang dibicarakan adalah uang proyek negara, uang komisi, uang, uang dan uang. Saya dapat berapa, kita dapat berapa.

Uang menjadi Tuhan, baik para eksekutif maupun legilatif (yudikatif dan tentara/polisi juga ikut-ikutan). Anggota-anggota DPR/DPRD yang telah keluar ratusan juta atau milyaran dalam kampanye, tidak mau rugi. Maka jangan heran ketika menjabat mereka kongkalikong dengan Menteri Keuangan atau Walikota/Gubernur untuk menetapkan gaji/penghasilan mereka setinggi mungkin.

Ya memang para pemimpin gincu yang merusak negeri ini. Pemimpin yang selalu mencari panggung. Pemimpin yang selalu mencari acara, agar dirinnya dikenal, agar dirinya ditepuki karena punya ‘ide-ide brilyan’ memperbaiki negeri ini.

Ternyata setelah diteliti, bukan ide brilyan tapi ide sampah. Ide yang merusak negeri ini. Salah satu ide sampah itu adalah ide merevisi UU KPK, sehingga membuat KPK ‘mandul’ sekarang. KPK yang tidak berani memeriksa polisi (dan presiden).

Ide sampah lainnya: memilih presiden secara langsung, menaikkkan gaji pejabat, memilih gubernur/walikota secara langsung dan lain-lain.

Pemimpin gincu adalah pemimpin yang lebih mementingkan kepentingannya sendiri/partai/keluarganya daripada kepentingan rakyatnya. Pemimpin yang senang tampil di panggung. Pemimpin yang senang mendapat tepuk tangan sorak sorai banyak penonton. Pemimpin yang pintar ngomong, tapi bodoh dalam tindakan. Pemimpin yang malas melakukan aksi-aksi kongkrit untuk menyejahterakan masyarakat.

Bangsa Indonesia bila ingin adil makmur, harus berani menyingkirkan pemimpin-pemimpin gincu seperti itu. Yang dibutuhkan bangsa kita saat ini adalah pemimpin yang otentik.

Kita bisa menyebutnya pemimpin tasawuf. Pemimpin yang tidak peduli ia dikenal atau tidak. Tidak peduli orang memberikan pujian atau tidak. Yang penting ia melakukan hal yang baik untuk masyarakatnya. Ia melakukan hal yang terpuji untuk bangsanya.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button