Politik Tak Dapat Dipisahkan dari Islam
Terasa bosan dan jenuh bila jelang Pemilu umat Islam diperebutkan bagaikan bancakan untuk mendapatkan suara agar menang dalam perebutan kursi jabatan di pemerintahan. Tapi yang mengherankan umat Islam tidak pernah tersadarkan bahwa dukungan yang diberikan hanyalah kamuflase belaka, bagaikan fatamorgana. Umat Islam hanya menerima tipuan-tipuan dan janji-janji palsu. Para politisi sekuler pada saat mengais dukungan umat, mereka tampil islami.
Seperti yang terjadi saat ini, para calon peserta pemilu berlomba-lomba menunjukkan citra dirinya bahwa ia sosok yang religius dengan tujuan meraih dukungan dari umat Islam. Seorang nasionalis berubah menjadi agamis, benci hukum Islam berubah menjadi seorang yang peduli dengan hukum Islam walaupun tetap tidak setuju negara dipimpin oleh hukum Islam. Bukankah ini merupakan praktik memperalat agama demi meraih tujuan politik? Inilah bukti bahwa mereka telah melakukan politisasi Islam.
Seperti inilah nasib Islam dan kaum Muslim dalam sistem demokrasi sekuler. Islam hanya menjadi aksesoris alat pencitraan bagi politisi sekuler untuk membohongi dan membodohi umat, seolah-olah sang calon pemimpin itu sosok yang shalih. Nyatanya, setelah duduk di kursi kekuasaan, Islam akan mereka campakkan.
Bahkan Menag Yaqut Cholil Qoumas menyeru masyarakat agar tidak memilih calon pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan. Agama seharusnya dapat melindungi kepentingan seluruh umat, masyarakat. Umat Islam diajarkan agar menebarkan Islam sebagai rahmat, rahmatan lil ‘alamin, rahmat untuk semesta alam. Bukan rahmatan lil islami, tok. Menurutnya, jika calon pemimpin pernah menggunakan agama sebagai alat untuk memenangkan kepentingannya maka jangan dipilih (Republika.co.id, 4/9/2023).
Pernyataan Menag ini bisa menyesatkan umat karena menuduh Islam sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan. Seolah-olah menyatakan bahwa Islam tidak boleh hadir dalam bidang politik karena akan menjadi alat politik semata. Pernyataan ini menunjukkan paradigma politik yang sekuler, yaitu menghilangkan agama dari panggung politik. Pernyataan Menag juga berbahaya karena menjadikan umat takut dan alergi untuk mengusung Islam masuk dalam aktivitas politik. Seolah-olah, Islam berkiprah dalam perpolitikan adalah sebuah kesalahan.
Padahal, dalam Islam, politik tak dapat dipisahkan dari agama, karena agama harus menjadi landasan dasar dalam menentukan arah politik negara. Sejatinya, Islam tidak terpisahkan dari politik karena politik salah satu bentuk pelaksanaan ajaran Islam. Politik Islam dibangun di atas asas akidah Islam dan bertujuan melaksanakan Islam di dalam negeri dan mendakwahkannya ke luar negeri.
Hakikatnya dalam Islam politik itu pengurusan urusan umat berdasarkan kesahihan dan keadilan Islam. Ketika akidah Islam menjadi asas politik, politik akan berjalan dengan benar dan membawa kemaslahatan. Adapun persepsi bahwa ketika Islam hadir dalam politik akan membawa kerusakan dan keburukan, itu merupakan persepsi salah yang dibentuk Barat melalui tipu daya mereka.
Namun saat ini umat diberikan pandangan terhadap Islam politik sebagai citra negatif, mulai dari pemberian label radikal, fundamentalis hingga teroris. Sehingga umat pun menjadi takut terhadap Islam politik. Akibatnya, politik berjalan tanpa semangat agama, padahal tanpa agama (Islam), politik menjadi Machiavellis, yakni menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan. Politik sekuler inilah yang dipraktikkan saat ini, para politisi di gedung parlemen telah mengambil alih kewenangan Allah SWT sebagai pembuat hukum dan diganti dengan undang-undang buatan manusia.
Semoga umat tersadarkan bahwa dalam negara sekuler Islam hanya dijadikan sebagai aksesoris, pemerintah hanya menggunakan agama, bukan karena kesadaran akidah, tetapi sekadar memperoleh suara umat Islam yang merupakan pemilih mayoritas. Politik dalam Islam menjadikan politik sebagai sarana untuk mewujudkan perintah Allah dan Rasul-Nya. Bagi umat Islam, politik adalah bagian dari aktivitas dakwah. Modal utama politik Islam adalah kebenaran yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, bukan aksesoris dan manipulasi.[]
Aktif Suhartini, S.Pd.I., Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok