Polri Hentikan Proses Hukum Kasus Pembunuhan Enam Laskar FPI
Jakarta (SI Online) – Badan Reserse Kriminal Polri resmi menghentikan penyidikan kasus penembakan terhadap enam anggota Laskar FPI di KM 50 Jakarta-Cikampek.
Dengan keputusan itu, seluruh penyidikan perkara dan status tersangka pada enam anggota Laskar FPI tersebut sudah tidak berlaku di mata hukum.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono mengatakan, penghentian kasus ini mengacu pada Pasal 109 KUHAP karena tersangka sudah meninggal dunia.
“Kasus penyerangan di Tol Jakarta-Cikampek dihentikan. Dengan begitu, penyidikan serta status tersangka sudah gugur,” ujar Argo melalui keterangan tertulis pada Kamis, 4 Maret 2021, seperti dilansir Tempo.co.
Enam Laskar FPI yang mengawal HRS tewas ditembak polisi di Jalan Tol Cikampek Kilometer 50 pada Senin dini hari, 7 Desember 2020 sekitar pukul 00.30. Polisi menuduh, mereka menyerang petugas menggunakan senjata api dan senjata tajam.
Baca juga: Almarhum Enam Pengawal HRS Ditetapkan Jadi Tersangka
Polri pun menetapkan enam anggota laskar FPI yang tewas di Tol Jakarta-Cikampek KM 50 itu sebagai tersangka.
Sebelumnya, Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menyarankan proses hukum penembakan Laskar Pembela Islam di Jalan Tol Jakarta-Cikampek, atau Tragedi KM 50, dihentikan setelah polisi menetapkan enam anggota Laskar Pembela Islam yang tewas sebagai tersangka.
“YLBHI menyarankan proses hukum ini tidak diteruskan agar tidak semakin merusak prinsip negara hukum dan membuat masyarakat semakin tidak percaya hukum,” kata Isnur melalui pesan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis (04/03/2021), seperti dilansir ANTARA.
Saran YLBHI agar kasus tersebut dihentikan, menurut Isnur, bukan masalah kasus enam orang anggota Laskar Pembela Islam yang tewas, tetapi bagaimana Indonesia sebagai prinsip negara hukum yang secara tegas disebutkan dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 tegak dan berlaku.
Isnur mengatakan penetapan orang orang yang tewas dalam kejadian tersebut sebagai hal yang aneh dan bertentangan dengan pengaturan dan prinsip hukum acara pidana.
Menurut Isnur, Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan bahwa kewenangan menuntut pidana dihapus bila tertuduh meninggal dunia.
“Ini berbahaya bila dianggap sebagai sebuah standar penegakan hukum. Bila mengikuti pola ini, seharusnya polisi juga bisa meneruskan kasus lain yang tertuduhnya meninggal, misalnya kasus yang melibatkan Soeharto,” tuturnya.
Selain itu, ketentuan hukum acara pidana juga menyebutkan hak tersangka untuk membela diri, membantah tuduhan, mengajukan saksi yang meringankan, mendapatkan bantuan hukum, dan lain-lain.
“Bagaimana tersangka bisa melakukan hal-hal terkait dengan haknya bila meninggal dunia,” ujarnya.
red: farah abdillah/dbs