PPN Sembako dan Sekolah, Ironis!
Sudah jatuh tertimpa tangga. Belum pulih dari keterpurukan ekonomi akibat pandemi Covid-19, rakyat dihadapkan kembali pada rencana pemerintah memberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 % terhadap sembako. Seperti beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan dan sayur-sayuran.
Rencana ini tertuang dalam draf revisi kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Padahal awal tahun ini, pemerintah sudah menaikkan harga pupuk subsidi. Bulan April kemarin, juga mengurangi subsidi listrik PLN kepada 33 juta pelanggan dari semua kategori (www.republika.com, 10/06/2021).
Tak hanya itu, sektor jasa terkait hajat hidup orang banyak pun akan dikenai PPN. Seperti jasa pendidikan, angkutan, penyiaran, pelayanan kesehatan, pelayanan sosial dan sebagainya. Untuk jasa pendidikan, meliputi pendidikan formal (PAUD sampai pendidikan tinggi), pendidikan non formal dan informal. Pelayanan kesehatan meliputi jasa dokter, ahli kesehatan, kebidanan, rumah sakit, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, sanatorium, psikologi dan sebagainya. (www.kompas.com,10/06/2021).
Optimalisasi penerimaan pajak; pemerintah tak bisa sepenuhnya mengandalkan utang dalam pembiayaan; dan 15 negara lain juga menyesuaikan skema tarif PPN untuk penanganan pandemi. Alasan-alasan inilah yang dikemukakan pemerintah di balik rencana tersebut.
Sederet protes dan kritik keras dilayangkan berbagai pihak. Baik pakar ekonomi, politik maupun kelompok masyarakat seperti MUI dan ikatan pedagang. Benang merahnya sama. Tak pro rakyat. Harga sembako dan jasa otomatis akan naik, sedangkan daya beli rakyat rendah. Efeknya akan menjatuhkan rakyat ke jurang kemiskinan yang lebih dalam. Puluhan juta rakyat kelas bawah semakin terjepit. Pemerintah tutup mata telinga dengan beratnya beban ekonomi rakyat. Kebijakan yang justru memperparah krisis ekonomi. Serta kontraproduktif dengan upaya pemulihan ekonomi.
Kebijakan Menyengsarakan
Membaca kebijakan pajak, setiap ‘inovasi’ pemerintah dalam menggenjot pajak, alasan serupa di atas selalu dikemukakan. Ke depan, nampaknya ‘inovasi’pajak akan diberlakukan sampai lubang tikus. Karena dalam kacamata pemerintah hari ini, pajak adalah titik darah penghabisan sumber anggaran negara. Tak peduli dengan berbusanya kritikan rakyat. Tak empati dengan mengalirnya darah dari perasan keringat rakyat.
Pajak sentra sumber anggaran adalah konsekuensi bagi negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme. Paham liberalisasi ekonomi, menjadikan kepemilikan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah ruah atau aset umum strategis lainnya di tangan badan usaha/korporasi. Para pemilik kapital besar dari swasta, asing maupun aseng lah yang menahkodai badan usaha/korporasi tersebut. Orientasinya hanya pada kepentingan bisnis (komersialisasi), yang berusaha meraup profit sebesar-besarnya. Bukan pada pelayanan atau pemenuhan kebutuhan rakyat.
Pemerintah hanya berperan sebagai regulator/fasilitator. Pemerintah pun hanya mendapat secuil ‘jatah’. Terbukti dalam struktur APBN 2020 SDA hanya menyumbang anggaran negara sebesar 160,4 triliun, 7,18 % dari total APBN (www.kemenkeu.go.id). Padahal anggaran negara tak akan pernah tercukupi hanya dengan mengandalkan ‘jatah’ tersebut. Untuk tetap menjaga keberlangsungan denyut kehidupan negara, mau tak mau harus ada sumber anggaran lain. Maka pajak lah yang menjadi opsi pertama dan utamanya.
Ketimpangan ekonomi semakin parah, dengan paradigma ekonomi kapitalisme dalam pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Yaitu pemenuhannya diserahkan pada mekanisme pasar dan menolak adanya intervensi pemerintah di dalamnya. Sehingga kebutuhan pokok rakyat jadi ladang komersialisasi menggiurkan bagi pemilik modal.
Apalah guna APBN dan pertumbuhan ekonomi tinggi, jikalau banyak rakyat yang busung lapar dan stunting ? Apalah guna gedung mewah sekolah perguruan tinggi, jikalau banyak rakyat yang butu huruf dan putus sekolah ? Apalah guna fasilitas lengkap dan canggih rumah sakit, jikalau banyak rakyat yang meregang nyawa tak punya biaya berobat ? Ironis!