Prabowo dan Sandi Membanggakan
Pak Prabowo dan Pak Sandi, sejauh ini, tak mendekat, untuk misalnya meminta bantuan kepala daerah bahu-membahu dengan dirinya memenangkan pilpres. Ini berbeda, sangat, dengan Pak Jokowi. Kepala daerah, dengan pertimbangan khas mereka mendekat, dan secara terbuka hendak bahu-membahu dengan Pak Jokowi dalam pilpres ini.
Menariknya Pak Prabowo, teridentifikasi sangat ditakuti. Ia ditakuti, sejauh ini, bukan karena mantan tentara, tetapi karena ia, di mana-mana, dan kemanapun menjumpai rakyat, selalu bergemuruh. Antusias, bergairah, berhasrat, itulah yang dipancarkan rakyat setiap kali Pak Prabowo jumpa mereka. Itu yang mendorong seorang kawan memberanikan diri menyatakan Pak Prabowo dan Pak Sandi, secara objektif, sejauh ini, telah memenangkan pilpres.
Jelas
Tak pernah mengolok-olok orang, apalagi merendahkan orang, termasuk lawannya dalam pilpres ini, menjadi penanda paling mengagumkan dari Prabowo dan Sandi. Kedua capres dan cawapres ini, mengekspresikan keprihatinan otentiknya terhadap keadaan hidup petani, nelayan, guru honorer dan petugas kesehatan.
Naspas keduanya tertakdir, sejauh ini, membuat anak-anak cukup gizi, agar kelak tumbuh menjadi manusia cerdas. Selalu, dimanapun, keduanya begitu lugas menampilkan keseriusannya, kelak setelah menggenggam kekuasaan, memastikan rakyat terlepas, dalam waktu cepat, dari lilitan rumit harga-harga pupuk, dana kesehatan, dan lainnya yang merupakan hasil salah urus.
Sangat terbuka, keduanya menyatakan kehendaknya untuk, pada kesempatan pertama membereskan kehidupan hukum. Hukum, kata Sandi, anak muda nan rupawan ini, tak bakal mereka gunakan memukul lawan. Tak bakal, kata Sandi, hukum digunakan untuk melindungi kawan. Ini jelas berkelas. Pernyataan ini, sungguh, dengan alasan apapun, harus dinilai sangat berani.
Berani, karena sejarah para tiran dunia, dulu hingga sekarang, tak pernah tak mengandalkan hukum dalam memelihara kekuasaannya. Hukum adalah senjata utama para tiran, paling mematikan, dan membinasakan siapa saja yang sekadar mengeritik dengan keras. Tiran, seperti Tiberius Lucius di Romawi kuno, yang begitu tamak, memperjualbelikan hukum hingga ke hal yang tidak senonoh. Pedang tajam atau pedang tumpul yang akan digunakan dalam pelaksanaan hukuman mati, oleh Tiberius, tergantung sepenuhnya pada besaran uang yang dibayarkan oleh orang yang hendak dihukum mati itu.
Keduanya sangat jelas dengan pernyataan di atas, mengambil jarak dari kebencian dan dendam, dalam menggunakan hukum. Perbedaan haluan politik, terlihat jelas, tak bakal bertengger dihati dan kepala mereka, untuk dijadikan panduan pelaksanaan hukum. Cukup beralasan untuk menegaskan betapa tak bakal ada hukum seperti hukum yang menimpa Habib Rizieq.
Menggembirakan, keduanya mengetahui kehidupan rumit dunia hukum. Menata isi hukum, apa yang sering disebut reformasi hukum, jelas bagus dan penting. Tapi itu bagian terkecil, dan termudah. Hal tersulit dalam dunia hukum adalah mengurus penegak hukum, menjadikan mereka manusia yang tahu adab berhukum. Itu, sekali lagi, merupakan perkara tersulit dalam dunia hukum.
Tetapi justru dititik tersulit itulah, keduanya memiliki keberanian memasuki dan memecahkanya. Apa itu? Ya soal insentif, gaji. Meminta orang bekerja jujur, sungguh-sungguh ditengah himpitan hidup, akibat hal yang berada di luar kendali mereka, jelas sama dengan membinasakan orang itu. Sama juga dengan membawa mereka ke dalam alam peras-memeras, korupsi yang terus berkecamuk dan menggila.