OPINI

Prabowo-Sandi Menang: Seberapa Akurat Riset Big Data?

Bias lembaga survei

Bagaimana kita membandingkan hasil big data dengan lembaga survei yang banyak memenangkan Jokowi-Ma’ruf. Penjelasan yang paling mudah dipahami sbb:

Pertama, kredibilitas lembaga survei di Indonesia, khususnya lembaga survei istana (LSI) sudah kehilangan kredibilitas. Mereka diduga memainkan data karena selain sebagai pollster, juga merangkap konsultan politik petahana.

Adanya penggelembungan angka oleh lembaga survei tersebut setidaknya tercermin dari polemik antara Denny JA dengan peneliti senior Litbang Kompas Bambang Setiawan.

Denny menyerang habis data survei Kompas karena hanya menyebut elektabilitas Paslon 01 di bawah 50 persen. Sementara dia sudah mengumumkan angkanya mendekati 60 persen dan pasti memenangkan pilpres.

Kedua, lembaga survei di Indonesia mempunyai catatan buruk berkali-kali meleset sangat jauh prediksinya. Paling mencolok pada Pilkada Serentak 2018. Di Jabar dan Jatim melesetnya sampai 20 persen.

Ketiga, pada survei konvensional ada kecenderungan responden menyembunyikan pilihannya karena ada semacam kekhawatiran. Sementara di medsos publik lebih bebas mengekspresikan sikapnya.

Pemilih malu-malu alias tidak menyebutkan pilihannya secara terbuka juga terjadi pada Pilpres AS 2016. Pemilih Trump banyak yang tidak terbuka. Kalangan kulit putih khawatir akan di-bully juga menunjukkan pilihannya kepada Trump.

Fenomena semacam ini dalam teori perilaku pemilih (voting behavior) disebut sebagai Bradley effect.

Pada tahun 1982 seorang kandidat kulit hitam Tom Bradley diprediksi akan memenangkan kursi Gubernur California. Semua lembaga survei mempunyai kesimpulan yang sama. Namun Bradley kalah dan yang menang kandidat kulit putih.

Dengan tekanan dan ancaman yang begitu massif oleh birokrasi dan aparat keamanan, pada Pilpres 2019 banyak pemilih yang tidak berani menyatakan pilihannya secara terbuka (silent voters).

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button