NUIM HIDAYAT

Prawoto Mangkusasmito: Politisi yang Menyatukan Kata dan Perbuatan

Saat ini kebanyakan para politisi bersikap muda dua. Beda antara ucapan dan perbuatan. Misalnya banyak presiden, menteri dan gubernur kita menyuruh menyuruh rakyatnya hidup sederhana, sementara dirinya hidup dalam kemewahan. Gawatnya sikap muka dua ini juga menghinggapi banyak politisi dan pejabat Muslim baik di partai sekuler maupun partai Islam.

Tidak mudah hidup sederhana, di era sistem politik hedonis saat ini. Tapi sebagai partai Islam, mestinya hal-hal yang prinsip bertentangan dengan syariat Islam mesti dijaga. Mencuri uang rakyat, hidup dalam kemewahan mestinya dihindari. Ketika seseorang mengikrarkan dirinya sebagai politisi Muslim (apalagi dari Partai Islam), saat itu masyarakat akan jeli melihatnya. Sebagaimana perkataan Sayidina Ali ra: “Sebagaimana kamu dahulu mengawasi dengan tajam pemimpinmu dahulu, kamu juga akan diawasi dengan tajam.”

Bila politisi Muslim, khususnya mereka yang tergabung dalam Partai Islam, tidak menjaga diri dengan hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam, maka bisa dipastikan masyarakat akan meninggalkannya. Tinggallah yang bergabung kader-kader yang kurang bermutu dan terus menerus turun suaranya.

Partai Islam mestinya kukuh dalam memegang prinsip-prinsip Islam dan sepatutnya mengambil keteladanan politisi-politisi Muslim pendahulu di negeri ini. Dalam berpolitik, mestinya tujuannya adalah bagaimana sekuat tenaga menegakkan hukum-hukum Islam, amar makruf nahi mungkar dalam negeri Islam Indonesia ini dengan jalan konstitusional. Bukan untuk sekedar menumpuk kekayaaan atau bergaya-gaya telah memegang kekuasaan. Bila demikian tujuannya, apa beda dengan politisi sekuler?

Berikut ini salah satu keteladanan yang menarik dari Ketua Masyumi terakhir, Prawoto Mangkusasmito. Semoga kita bisa mengambil keteladanan darinya:

“Ia seorang pejuang ideologis yang teguh, yang mempunyai kepribadian khas. Ia tidak akan membiarkan begitu saja, kalau akidahnya disinggung orang. Sebagai seorang pemikir politik, ia sangat teliti dan cermat. Dia merupakan contoh pejuang yang konsekuen, satunya kata denganperbuatan,” kata sahabatnya AR Baswedan.

Laki-laki berperawakan kurus itu memang telah banyak memberi teladan pada para pemimpin. Mantan Ketua Umum Masyumi (1959-1960) ini, hidupnya sederhana dan tidak bergelimang duit. Bahkan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, istrinya juga membantu mencari nafkah.

“Ia bukan seorang politisi yang menggunakan politik untuk mencari duit. Ia berjuang untuk negara dan rakyat Indonesia dan ini kelihatan sekali dari penghidupannya,” tulis Tan Eng Kie di Pos Indonesia, Agustus 1970.

Prawoto lahir di desa Tirto, Grabag, Magelang, 4 Januri 1910. Sejarah hidupnya, menggambarkan seorang pejuang politik (Islam) yang konsisten terhadap agama.

Dalam soal prinsip agama, mantan guru sekolah Muhammadiyah ini mengingatkan, “Jangan tinggalkan tuntunan agama. Dipandang daripada sudut partai politik yang mendasarkan perjuangannya atas kaidah-kaidah agama, perlu kita renungkan kembali, apakah benar di dalam mengejar kemenangan-kemenangan yang bersifat sementara itu, dapat dipertanggungjawabkan jika ditinggalkan ketentuan-ketentuan yang terang nashnya dalam agama? Saya yakin tidak. Jika demikian, maka kerusakanlah yang akan menjadi bagian kita dan tidak ada guna, malah menyesatkan perkataan agama yang kita tempelkan pada papan nama kita.” (Prawoto Mangkusasmito: 1972).

Tokoh Masyumi Mohammad Natsir, juga kagum terhadap pribadi Prawoto. Menyambut meninggalnya Prawoto (24 Juli 1970), Natsir membuat tulisan berjudul “Seorang Mujahid Pergi dan Tidak Kembali.” Dalam sambutan mengantar jenazah Prawoto, Natsir menyatakan bahwa kelebihan Prawoto di antaranya adalah pergaulannya yang luas dan mau langsung terjun berdakwah dan berdiskusi di tengah-tengah ummat. Prawoto biasa mengunjungi petani atau rakyat-rakyat kecil di desa, untuk berdiskusi masalah agama, politik dan kehidupan sehari-hari mereka. “Sebagai seorang pemimpin ummat, yang ingin hidup di tengah-tengah umatnya, beliau rupanya sudah ditakdirkan meninggal di tengah-tengah umat yang menjadi keluarga besar yang beliau cintai,” kata Natsir. Ya, Prawoto pergi ke akherat ketika berada di tengah-tengah kaum dhuafa di Banyuwangi.

Keteguhan pada perjuangan, menjadikan dirinya “iri” (cemburu) melihat kawan-kawannya sudah merasakan penjara, sedang dirinya belum. Tapi cemburunya itu, akhirnya terobati setelah dia juga ditangkap rezim Soekarno dan dipenjara di Rumah Tahanan Militer di Madiun bersama Mohammad Roem, Isa Anshori, Yunan Nasution dan tokoh-tokoh Masyumi lainnya.

Komitmennya pada Islam, selain dipraktikkan dalam kehidupannya, juga ditunjukkannya dalam pidato atau ceramah-ceramahnya. Saat Halal bi Halal Masyumi se-Jakarta, Prawoto mengharapkan agar menilai sebuah perjuangan dengan ukuran Islam, tidak dengan ukuran lainnya. “Rugi untungnya perjuangan, kita nilai dengan rugi untungnya Islam,” kata Prawoto, seperti dikutip Harian Abadi, 2 April 1960. Dalam kesempatan itu ia juga menjelaskan kenapa Masyumi keluar dari DPR Gotong Royong, bentukan Presiden Soekarno bersama PKI. “Masyumi tidak ada di dalamnya, sebab yang duduk di situ adalah orang-orang yang disebut “revolusioner” saja. Tetapi sampai di mana ada jaminan bahwa DPR Gotong Royong itu tidak akan di-recall (dibubarkan) lagi?” sindir Prawoto.

Masyumi memang mempunyai pendirian yang tegas. Ketika Soekarno membentuk Kabinet Gotong Royong, merangkul PKI dan menyebarkan ide-ide komunis, Natsir, Prawoto, HM Rasyidi dll. menyatakan sikapnya untuk menjadi oposan Presiden Soekarno. Akibatnya, hampir semua tokoh Masyumi mengalami beratnya perjuangan dengan “gemblengan” di rumah-rumah tahanan negara.

Sikap oposan terhadap Soekarno memuncak, ketika Soekarno dengan tanpa alasan yang jelas membubarkan Partai Islam terbesar itu. Lewat Keputusan Presiden RI No. 200/1960 tertanggal 17 Agustus 1960 (dan merujuk Penetapan Presiden No.7/1959) Soekarno membubarkan Masyumi. Alasannya, menurut Soekarno, “Partai melakukan pemberontakan, karena pemimpin-pemimpinnya turut serta dalam pemberontakan apa yang disebut dengan “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia” atau “Republik Persatuan Indonesia” atau telah jelas memberikan bantuan terhadap pemberontakan, sedang partai itu tidak resmi menyalahkan perbuatan anggota-anggota pimpinan tersebut.”

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button