Prawoto Mangkusasmito: Teladan Ketua Masyumi Terakhir
Adalah Prawoto. Laki-laki berperawakan kurus itu memang telah banyak memberi teladan pada para pemimpin. Mantan Ketua Umum Masyumi (1959-1960) ini, hidupnya sederhana dan tidak bergelimang duit. Bahkan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, istrinya juga membantu mencari nafkah.
“Ia bukan seorang politikus yang menggunakan politik untuk mencari duit. Ia berjuang untuk negara dan rakyat Indonesia dan ini kelihatan sekali dari penghidupannya,” tulis penulis Cina Tan Eng Kie di Pos Indonesia, Agustus 1970.
“Ia seorang pejuang ideologis yang teguh, yang mempunyai kepribadian khas. Ia tidak akan membiarkan begitu saja, kalau aqidahnya disinggung orang. Sebagai seorang pemikir politik, ia sangat teliti dan cermat. Dia merupakan contoh pejuang yang konsekuen, satunya kata dengan perbuatan,” tulis AR Baswedan, kakeknya Anies Baswedan.
Prawoto lahir di desa Tirto, Grabag Magelang 4 Januri 1910. Sejarah hidupnya, menggambarkan seorang pejuang politik (Islam) yang konsisten terhadap agama. Dalam soal prinsip agama, mantan guru sekolah Muhammadiyah ini mengingatkan;
“Jangan tinggalkan tuntunan agama. Dipandang daripada sudut partai politik yang mendasarkan perjuangannya atas kaidah-kaidah agama, perlu kita renungkan kembali, apakah benar di dalam mengejar kemenangan-kemenangan yang bersifat sementara itu, dapat dipertanggungjawabkan jika ditinggalkan ketentuan-ketentuan yang terang nashnya dalam agama? Saya yakin tidak. Jika demikian, maka kerusakanlah yang akan menjadi bagian kita dan tidak ada guna, malah menyesatkan perkataan agama yang kita tempelkan pada papan nama kita.” (Prawoto Mangkusasmito:1972).
Tokoh Masyumi Mohammad Natsir, juga kagum terhadap pribadi Prawoto. Menyambut meninggalnya Prawoto (24 Juli 1970), Natsir membuat tulisan berjudul “Seorang Mujahid Pergi dan Tidak Kembali.” Dalam sambutan mengantar jenazah Prawoto, Natsir menyatakan bahwa kelebihan Prawoto di antaranya adalah pergaulannya yang luas dan mau langsung terjun berdakwah dan berdiskusi di tengah-tengah ummat. Prawoto biasa mengunjungi petani atau rakyat-rakyat kecil di desa, untuk berdiskusi masalah agama, politik dan kehidupan sehari-hari mereka.
“Sebagai seorang pemimpin umat, yang ingin hidup di tengah-tengah umatnya, beliau rupanya sudah ditakdirkan meninggal di tengah-tengah umat yang menjadi keluarga besar yang beliau cintai,” kata Natsir. Ya, Prawoto pergi ke akhirat ketika berada di tengah-tengah kaum dhuafa di Banyuwangi.
Keteguhan pada perjuangan, menjadikan dirinya “iri” (cemburu) melihat kawan-kawannya sudah merasakan penjara, sedang dirinya belum. Tapi cemburunya itu, akhirnya terobati setelah dia juga ditangkap rezim Soekarno dan dipenjara di Rumah Tahanan Militer di Madiun bersama Mohammad Roem, Isa Anshori, Yunan Nasution dan tokoh-tokoh Masyumi lainnya.
Komitmennya pada Islam, selain dipraktikkan dalam kehidupannya, juga ditunjukkannya dalam pidato atau ceramah-ceramahnya. Saat Halal Bihalal Masyumi se-Jakarta, Prawoto mengharapkan agar menilai sebuah perjuangan dengan ukuran Islam, tidak dengan ukuran lainnya.
“Rugi untungnya perjuangan, kita nilai dengan rugi untungnya Islam,” kata Prawoto, seperti dikutip Harian Abadi, 2 April 1960. Dalam kesempatan itu ia juga menjelaskan kenapa Masyumi keluar dari DPR Gotong Royong, bentukan Presiden Soekarno bersama PKI. “Masyumi tidak ada di dalamnya, sebab yang duduk di situ adalah orang-orang yang disebut “revolusioner” saja. Tetapi sampai di mana ada jaminan bahwa DPR Gotong Royong itu tidak akan direcool lagi?” sindir Prawoto.