RESONANSI

PT 0% dan “Horse Riding” Pemulihan Demokrasi Indonesia

“The Horse Riding”, berarti kuda tunggangan, dalam sejarah silam telah menjadi alat utama transportasi luar biasa yang mampu mengubah dunia.

Selain perahu sekelas Phinisi Nusantara yang dikenal dengan sebutan “Si Ratu Biru” menerjang bentangan ombak lautan samudra, di daratan kuda adalah “Raja Jalanan”. Pasukan-pasukan berkudanya kerajaan-kerajaan besar dari semasa monarchi Romawi, Eropa dan Amerika Serikat, China serta Islam yang memobilisasi massa menjelajah benua, baik dalam rangka eksodus, maupun perang dan menjajah, kuda tunggangan diperlukan sangat vital oleh prajurit-prajurit spesialisnya setingkat kavaleri: seringkali sebagai faktor “truf” mempercepat waktu kemenangan peperangan di daratan yang sungguh amat melelahkan dan berkepanjangan itu.

Tapi di sini yang akan dibahas bukan konteks itu, melainkan hal Presiden Threshold 20% dalam implementasi politik praktis di Indonesia.

Bisa dibayangkan dalam arti gramatis—kuda tunggangan itu, jika rezim Jokowi yang berkuasa berakhir meski hanya dibatasi dua periode kemudian melanjutkannya kepada “rezim angonan kuda tunggangan” turunannya yang baru, akan bisa menjadi alat utama yang bisa mempercepat mobilisasi secara massif, terstruktur dan sistematis proses terjadinya politik otoratianisme itu. Mengapa demikian?

Kemunculan Orde Otoriter

Sinyal dari derivatif politiknya yang sudah menunjukkan tanda sangat membahayakan: dikarenakan kondisi deviasi demokrasi politik rezim Jokowi berkuasa sekarang sudah sangat mutlak mendominasi.

Mengacu kepada teori fungsi politik Trias Politika, Montesqieu, lembaga-lembaga tinggi lainnya: DPR, MA, MK dan Jaksa Agung, sesungguhnya sudah berkecenderungan hanya sebagai representasi kepanjangan tangan Jokowi saja dan komando mutlak itu datangnya dan dari lembaga Istana Kepresidenan.

Indikasi nyata dari adanya preseden dominasi politik Presiden ini ketika diratifikasinya empat RUU strategis, KPK, Omnibuslaw, BRIN dan IKN, tanpa kajian materi secara terbuka kepada publik, apalagi memperhatikan aspirasi rakyat. Bahkan, terkesan amat tergesa-gesa, tersembunyi dan tidak apriori.

Termasuk, kemudian POLRI dan TNI, meski bukan lembaga tinggi negara, namun mereka dipersenjatai dalam arti sesungguhnya akan menjadi “backing” untuk membarikade sebagai tameng politik Presiden bilamana ada massa demonstran dan kelompok oposisi yang melakukan perlawanan.

Persenjataan lainnya, adalah peraturan UU, berupa UU ITE, untuk membungkam sama sekali kritik. Hanya semasa Presiden Jokowi saja, banyaknya para oposisi yang dipenjarakan ketimbang masa kepemimpinan lainnya.

1 2 3 4Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button