PT 0% dan “Horse Riding” Pemulihan Demokrasi Indonesia
Secara prinsipil dan logika hukum di PT itu sesungguhnya tidak ada angka persentase itu. UUD 1945 sebagai landasan hukum prinsipil tidak ada mencantumkan angka persentase di dalam pasal dan ayat-ayatnya tersebut, sehingga menurut Prof. Yusril —di kesempatan webinar “PT di Mata Para Begawan Hukum” beberapa minggu lalu, sudah tak ada relevansinya mencantumkan angka 20% itu.
Apalagi PT 20% itu ibaratnya sudah berkecenderungan menjadi janin yang bakal memunculkan otoritarianisme yang sudah sangat jelas bertentangan dengan asas dan landasan filosofi negara, Pancasila dan UUD 1945.
Terlebih, Pemilu Pilpres 2024 adalah ajang pemilihan Presiden baru, setelah berakhir masa jabatan dua periode, maka tak ada alasan untuk memberlakukan PT 20%.
Secara logika hukum adanya angka PT bolehlah dimunculkan bilamana paling tidak setelah masa periode kesatu atau sebagai jabatan incumbent presiden, itupun landasan berpikir rasionalitasnya bilamana Presiden bersangkutan dianggap cukup berprestasi dengan banyak kemajuan dalam memimpin negaranya. Sehingga, patut untuk dilanjutkan dengan kepemimpinan berikutnya dengan mengambil sari manis PT, sehingga Pilpres menjadi sangat efisien dan efektif, juga memberikan pencerahan harapan rakyat terhadap kepemimpinannya.
Seharusnya, fungsi PT itu sedemikian, bukan untuk “mengabadikan” jabatan Presiden yang sudah habis masa jabatan dua periode dan atau bagi “hereditas” politik turunannya.
Jika kemudian, dengan pelbagai dasar pikir dan alasan konstruktif di atas itu, MK masih sangat keras kepala —seperti kata Prof. Yusril utarakan sendiri dia sudah kehabisan akal, maka hanya akan ada dua pilihan saja bagi demokrasi dan demokratisasi di Indonesia ke depan, lebih spesifik di Pemilu Pilpres 2024:
Pertama, nanti akan melahirkan Presiden otoriter karena hanya menyingkirkan satu pasangan calon dan yang terjadi kemudian politik kekerasan yang berkelanjutan.
Atau, kedua, Pilpres 2024 boleh jadi calon Presiden yang sudah pasti satu akan menghadapi lawan kotak kosong: sebagai suatu “lelucon demokrasi Indonesia” yang bakal memalukan dan akan menjadi bahan tertawaan cercaan dunia. Wallahu a’lam Bisshawab
Dairy Sudarman, Pemerhati politik dan kebangsaan.