OPINI

Puas Bunda !!!

Tragis. Empat bocah ditemukan tewas berjajar di kasur (Rabu/6/12/2023) pada sebuah rumah kontrakan. Warga Jagakarsa, Jakarta Selatan. Pelakunya, terduga ayahnya sendiri. Kabar itu saya terima pertamakali dari group WA. Lalu, saya tonton dan baca beritanya di Detik. Ternyata, benar adanya. Kira-kira, kronologinya begini.

Polisi membenarkan kejadian itu. Penemuan mayat bermula dari laporan warga. Bau menyengat datang dari rumah itu. Cepat bertindak, polisi datang ke TKP. Benar saja, keempat bocah itu tewas berjajar, sementara ayahnya ditemukan di kamar mandi, coba melakukan percobaan bunuh diri. Menenteng pisau untuk menggores tubuhnya, untungnya bisa diselamatkan dan dibawa ke rumah sakit.

Sebelumnya, menurut pengakuan salah satu warga, keluarga itu cekcok. Istrinya dipukulin, lalu menelepon adeknya, diselamatkan. Sayangnya, keempat bocah terabaikan, ditinggal bersama ayahnya yang konon sedang dalam keadaan marah dan stress karena problem keluarga, terutama ekonomi. Sang ibu selamat, sementara bocah-bocah tak berdosa itu akhirnya meregang nyawa. Meninggal di tangan ayahnya sendiri.

Saat saya shalat di sebuah masjid besar, masih terngiang kejadian tragis ini. Jumat lalu, saya mendengar pengumuman dari tak Takmir. Saldo kas masjid sebesar 80 juta. Nominal yang lumayan banyak. Tak bermaksud mengajari. Saya membayangkan bagaimana dana yang lumayan besar itu, sebagian kecil, bahkan sebagian besarnya semata-mata diperuntukkan untuk menyelesaikan problem-problem keuangan umat (jamaah). Konon, sang ayah yang diduga membunuh itu, sudah nunggak kontrakan 7 bulan lamanya.

Masalahnya, warga yang masih ngontrak diperantauan, kadang tak dianggap sebagai warga penuh sebuah RT atau perumahan tertentu. Perlakuan sebagai warga masih sering dibedakan. Itu sebuah kenyataan. Bahkan, mereka yang ngontrak rumah dekat masjid, tiap hari shalat jamaah di masjid paling dekat dengan dia tinggal, masih tak dianggap sebagai jamaah masjid. Ketika hari raya Idul Kurban misalnya, dia tak diberikan daging kurban. Mungkin ada yang protes, ah dikasih juga kok. Baik, di sini saya hanya kasih contoh kasus saja.

Dalam kasus itu, ada yang bilang, wah itu urusan murni keluarga saja. Sambil menyalahkan sang ayah, yang katanya tega, tak berpikir panjang, hanya sumbu pendek. Toh, setiap ayah pasti punya beban dan problematikanya masing-masing. Sampai hati membunuh darah dagingnya sendiri, sungguh tak masuk akal. Begitulah, memandang sebatas urusan personal. Saya tertarik dengan “pesan” yang tergores, ditinggalkan sang ayah. Tertulis, “Puas Bunda”.

Sebuah pesan yang tak boleh dianggap sepele begitu saja. Seperti layaknya sosok ayah, dia mungkin lebih banyak diam ketika persoalan datang, tapi dia tentu tak diam, cari seribu solusi penyelesainnya, walau kadang tetap buntu. Kata-kata “Puas Bunda”, adalah ungkapan kekesalan yang terucap. Tarsirnya beragam. Setiap orang punya pandangan berbeda terkait kasus ini.

Di sini, saya hanya sedikit berbagi perspektif. Bahwa, tragedi ini, bukan semata perkara personal saja. Tapi, sebuah perkara struktural. Tak bisa diselesaikan oleh pribadi-pribadi yang bermasalah saja. Tapi, kalau kita sepakat bahwa setiap muslim adalah jamaah yang tersusun rapi dalam sebuah barisan, bukan gerombolan. Dan, masjid menjadi sentra penyelesaian problem-problem jamaah dan keumatan. Tragedi-tragedi semacam ini tak boleh terulang lagi.

Yons Achmad
Kolumnis, tinggal di Depok

Back to top button