RESONANSI

Puisi Sinyal: “Ribut” atau “Reboot”?

I

Ini memang terjadi bukan di negara imajiner: Konoha atau Wakanda.

Tetapi, di negeri real nusantara: Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa nan kaya

Yang tiada tara bakal tak tertandingi oleh negara manapun di dunia

Ketika segala mimpi, harapan dan keniscayaan berada dan berpunya

Apakah karena ini kemudian “hidup kebersamaan” dan “hidup kebersatuan”
jadi tersamarkan oleh segala kesombongan dan kepongahan kita?

Yang ketika kita menikmatinya sepertinya jadi kehilangan logika malah merekayasa dan menyesatkan pikiran dari akal sehatnya dalam rimba salah dan dosa?

II

Karena seringkali kita meneguk puas rasa haus dahaganya dengan minuman haram harem sambil tanpa henti terus-menerus disajikan tari-tarian liuk meliuk nan merona dari para wanita penggoda?

Dari hari-hari ke keseharian berlari kencang hingga terseret-seret hanya mengejar kegelimangan harta?

Dan di hulu tembolok hawa nafsunya terbungkus rakusnya keserakahan mengeruk dan merengkuh egoisme ambisi singgasana tahta berkuasa?

Bak mabuknya seperti lelakon pewayangan para dalang bercerita: tentang turunan Rahwana, Kurawa kemudian beranak
berpinak-pinak menjadi “cicit dari seribu cicit-cicit”: “anak negeri” nusantara yang saat ini memasuki generasi milenium milenial yang kecepatannya luar biasa tak tersangka?

III

Sudah pasti dan tak terpungkiri kita tengah mengelola negeri dan negara tanpa kesadaran cita dan rasa

Yang sebenarnya bukan jauh tapi dekat di dalamnya ada keyakinan iman dari jiwa bahkan ruh kesolehan dan takwa

Yang tak tersimak-simak teracun fana dalam melekatkan hati dan iman yang terpenjara

Bakal menjadi tipis dan mudah getasnya dalam merajut renda-renda kepatutan dan kepatuhan atas petunjuk dan perintah yang hakiki dari dan kepada Tuhannya yang Maha Kuasa

IV

Itulah rajutan kinerja tanpa kesungguhan budi dan ketulusan rasa iklas untuk menyatukannya dalam tujuan “ruang rumah besar rasa syukur” Indonesia:

Ketika di dalamnya masih tersekat pagar betis dari besi angkuhnya pintu-pintu kamar-kamar logika, cita rasa dan jiwa-jiwa berlaksa

Yang sesungguhnya lumpuh, luluh dan rapuh menjadi selalu dan selalu saja tertanggung dan terbeban lara dan derita

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button