Pujian Penebas Leher

Ketika seorang pemimpin yang baru berkuasa memuji setinggi langit pemimpin yang digantikannya, apa yang sebenarnya terjadi? Ada beberapa kemungkinan.
Pertama, kekaguman tulus atas pencapaian pemimpin sebelumnya. Kedua, ekspresi terima kasih atas warisan kepemimpinan yang memudahkan melanjutkan program selanjutnya. Ketiga, bentuk manipulasi sosial-psikologis atas kondisi—meminjam istilah psikolog Harriet Braiker—“kedangkalan pesona” (superficial charm) yang diterima penerima pujian dan membuat pemberi pujian rikuh mengatakan yang sebenarnya sehingga memilih untuk mengatakan ‘apa yang ingin didengar’ oleh penerima pujian. Keempat, manipulasi psikologis bernuansa ekonomis-transaksional seperti ungkapan bahasa Inggris “ paying someone with a compliment” karena sang pemberi pujian mendapatkan jabatannya dengan bantuan dari orang yang dipujinya.
Penelitian masyhur tentang pujian yang dilakukan Naomi Grant, guru besar psikologi Mount Royal University, Kanada, pada 2010, menunjukkan bahwa 79 persen penerima pujian akan suka rela memberikan bantuan kepada pemberi pujian. Itu untuk konteks dunia pendidikan (baca: nonpolitik).
Bayangkan dunia politik yang penuh kepentingan tersembunyi dan terang-terangan untuk meraih kekuasaan, bisa dipastikan tingkat “kesukarelaan memberikan bantuan” akan lebih tinggi dari 79%. Maka akan terjadi hiperinflasi pujian saat para politisi saling memuji, sementara kondisi lapangan jauh panggang dari api. Tak sesuai kenyataan dengan manisnya pujian.
Gandrung terhadap pujian juga menunjukkan gejala grandiose narcissism, rasa cinta terhadap diri sendiri yang terlalu muluk, dengan melebih-lebihkan keberadaan, martabat, dan kontribusi seseorang yang sejatinya tidak sehebat dalam pujian.
Tersebab itu untuk urusan tanggung jawab pemimpin kepada publik, Santo Agustinus dari Hippo yang hidup di abad kelima Masehi pernah mengingatkan para penguasa dan pemuka agama bahwa, “Dalam melakukan apa yang seharusnya kita lakukan, kita tidak pantas mendapat pujian, karena itu adalah tugas kita.”
Dalam mahfuzat bahasa Arab ada ungkapan sejenis yang menyatakan “la syukran ‘ala wajib (لا شكر على واجب)” yang bermakna tak diperlukan terima kasih untuk sebuah kewajiban. Misalkan ada seseorang yang menyampaikan terima kasih kepada seorang pemimpin (bupati, gubernur, presiden atau CEO) atas kerja kerasnya melaksanakan tugas, maka sang pemimpin cukup menjawab “la syukran ‘ala wajib”. Don’t thank me, it’s my duty.
Pujian orang tua terhadap anak mereka yang belajar dengan keras, atau pujian seorang atasan kepada anak buahnya yang mampu mencapai target kerja tertentu, bersifat organik seperti ketika seseorang mendapatkan makanan di kala lapar atau minuman ketika haus. Hasilnya muncul energi lanjutan untuk berbuat lebih baik lagi.
Namun pujian memiliki mata pedang tersembunyi jika digunakan sebagai manipulasi psikologis atau sekadar basa-basi sosial yang tak sesuai realita. Hasilnya akan muncul arogansi dan keyakinan semu dari penerima pujian tentang kehebatan dirinya. Ini yang sangat dikhawatirkan Nabi Muhammad ﷺ (peace be upon him) terjadi pada umat manusia.
Maka ketika beliau ﷺ (pbuh) mendengar seorang sahabat memuji sahabat lain secara terbuka, komentarnya adalah “Waihaka! Qata’ta ‘unuqa shahibika”. Celaka! Engkau telah menebas leher kawanmu. (Shahihain, HR Bukhari #6061 dan HR Muslim #3000). Dalam hadits yang lain, Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk “melemparkan debu ke wajah orang yang suka memuji” (HR Muslim #3002).
Sifat dasar pujian itu adalah melenakan, memabukkan, membuat lalai. Apalagi pujian dalam aroma parfum kekuasaan. Maka, pemimpin yang baik dan mengerti hakikat kekuasaan (sementara) yang sedang dijabatnya tak akan umbar pujian. Pun pemimpin yang baru turun jabatan tak akan mudah bungah menerima pujian.
Mereka harus belajar, dan terus belajar, untuk mengatakan dengan tulus dan rendah hati. “Don’t thank me, it’s my duty.” La syukran ‘ala wajib. []
19 Februari 2025
Akmal Nasery Basral, Penerima Anugerah Sastra Andalas 2022 kategori Sastrawan/Budayawan Nasional