‘Raja Cawe-Cawe’
Dikarenakan cara cawe-cawe itu jantung dan darahnya, adalah bisnis transaksional, maka takkan mengherankan korupsi, kolusi dan nepotisme adalah pembuluhnya yang “mengoler-oler” membelit dan mengikatnya di seluruh infrastruktur dan suprastruktur tubuh negeri ini.
Makanya, itulah kenapa hanya di era Jokowi ini terjadi tera-korupsi yang jumlahnya bukan main luar biasa besar hingga 349 trilyun yang melanda kementerian keuangan? Bahkan, ironisnya yang diakui sendiri laporannya oleh KPK dan BPK sendiri kebocoran APBN setiap tahunnya sebesar 30% itubakibat dikorupsi? Dan banyak lagi peristiwa korupsi berskala T yang tidak dapat dihitung dan diidentifikasi satu persatu di rubrik ini.
Makanya, itulah kenapa pula kok mega-proyek infrastruktur selalu yang menjadi prioritas rezim ini, seperti: IKN yang terlalu dipaksakan di tengah-tengah sulit dan kelangkaan likuiditas, kereta cepat yang menyimpang jauh dari perencanaan, proyek-proyek tol, infrastruktur bandara dan pelabuhan yang salah sasaran pemanfaatan dan penempatan, adalah bentuk lainnya yang sesungguhnya sebagai cara korupsi dalam skala tera T itu.
Sebaliknya, bagi kepentingan kemaslahatan rakyat banyak cara cawe-cawe pemerintah dan oligarki itu kok ya melakukan pembiaran ketika dalam tata kelola produksi kelapa sawit sebagai bahan dasar minyak goreng untuk kebutuhan rakyat terkooptasi seluruhnya oleh para mafia. Sehingga, ada adagium para mafialah karib sesungguhnya dari para oligarki.
Betapa tidak! Sekarang di tata kelola beras ada mafianya, di pengadaan pupuk untuk para petani ada mafianya, dan banyak barisan mafia produk lainnya: ada mafia migas, mafia tambang, mafia gula, mafia terigu, mafia garam sampai ke mafia pajak, hingga mafia peradilan, seolah di seluruh sendi kehidupan itu dikuasai oleh para mafia.
Yang sangat dan paling parah justru yang terjadi di Kepolisian, justru sebagai lembaga pelindung dan pengayom seluruh rakyat ini justru melindungi mafia kriminalitas narkoba, judi, korupsi, money laundring, prostitusi, dsb hanya demi dibarter dengan kepentingan uang.
Dalam kondisi menjadikan negara oligarki itu sudah diambang pintu ternyata situasi rakyat kita sedang terpolarisasi, pecah terbelah dua, sehingga tinggal melakukan langkah dua pilihan:
Mengikuti kelompok “Raja Cawe-Cawe” yang memang kaya dan tak terbatas finansialnya, termasuk menggunakan cara money politic instan sebagaj cara untuk membeli suara rakyat, khususnya di desa-desa yang memang tingkat pengetahuan yang memang masih banyak terbelakang.
Dan yang tengah dengan segala daya upaya memenangkan kembali tampuk kepresidenannya melalui turunan kekuatan politiknya melalui koloni dan bonekanya.
Dan memastikan kelompok penyokong oligarki ini bakal mewujudkan NORI ke depan dengan dampak bahayanya akan banyak membohongi dan menyengsarakan rakyat dari yang sudah miskin semakin akan terus termiskinkan.
Atau pilihan lainnya yang masih terbuka lebar, adalah mengikuti yang kini tengah menjadi “mutiara mutu manikam” rakyat di seluruh pelosok nusantara Anies Rasyid Baswedan sebagai bacapres yang diusung partai koalisi KPP yang juga telah membayarkan uang muka juga kepada para pendukungnya, tetapi bukan dengan uang, melainkan dengan harapan dan perjuangan sukarela, swadaya mandiri dan keikhlasannya untuk kelak dapat mewujudkan Indonesia yang lebih baik berdasarkan nilai berkesetaraan, berkeadilan, berkemajuan, berkesejahteraan bersama dalam kebersatuan? Wallahu a’lam Bishawab.
Mustikasari-Bekasi, 2 Juni 2023
Dairy Sudarman, Pemerhati politik dan kebangsaan