Rakyat Butuh Mitigasi Bencana, Bukan Pencitraan Penguasa
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho pernah menyinggung pemotongan anggaran dalam kaitannya dengan antisipasi bencana. Indonesia, kata Sutopo, tidak lagi memiliki buoy sejak 2012 (tirto.id, 26/12/2018).
Lambatnya sikap pemerintah terhadap mitigasi bencana membuat kita mengelus dada. Mengingat menjadi qadha Allah Ta’ala letak geografis Indonesia yang berada di ring of fire. Indonesia juga berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif dunia: lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Hal tersebut menempatkan negeri kepulauan ini berpotensi terhadap ancaman bencana alam.
Sayangnya ancaman serius terhadap rentetan bencana alam tersebut tidak disikapi dengan serius oleh pemerintah. Di satu sisi, minimnya mitigasi bencana alam patut dikritisi. Mengingat jumlah korban jiwa yang tak sedikit di setiap musibah bencana alam. Cukuplah musibah di Selat Sunda menjadi bukti lemahnya sistem mitigasi dan kesiapsiagaan pemerintah terhadap bencana alam.
Sesungguhnya potensi rawan bencana alam pada suatu tempat adalah qadha dari Allah Ta’ala. Namun kita perlu berikhtiar untuk menghindar dari keburukan yang dapat ditimbulkan. Mitigasi bencana merupakan bagian dari ikhtiar untuk meminimalisir resiko dan dampak bencana. Namun aspek ini sering diabaikan oleh pemerintah sehingga setiap bencana yang terjadi selalu berdampak massal.
Mitigasi Bencana tanpa Pencitraan Ala Islam
Islam memandang bahwa mitigasi bencana alam sejatinya menjadi tanggung jawab penguasa. Sebab menjadi kewajiban penguasa dalam mengurus dan melindungi rakyatnya.
Mitigasi bencana alam dalam Islam secara teknis, sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan banyak metode di dunia. Perbedaan terjadi pada sudut pandang bahwa bencana alam adalah qadha Allah Ta’ala. Sehingga mengakibatkan adanya perbedaan dalam langkah awal ketika terjadi suatu kejadian bencana alam.
Fase awal yang dilakukan ketika terjadi bencana alam ialah bertaubat. Merenung dan mengingat kemaksiatan apa saja yang telah dilakukan sehingga Allah Ta’ala menurunkan bencana alam tersebut. Ini untuk menjaga kesadaran dan kondisi ruhiyah masyarakat. Khususnya yang berada pada daerah rawan bencana alam untuk senantiasa menjaga ketaatan pada syariah dalam lingkup individu dan masyarakat.