Rakyat Menunggu Pertanggungjawaban Nawacita
Memang, tidak ada ketentuan yang kini mengatur hal tersebut. Tapi tidak berarti hal semacam itu mustahil dilakukan. Sekali lagi, prinsip yang ingin kita bangun adalah bagaimana terus-menerus memperbaiki kualitas demokrasi dan peradaban politik di tanah air. Itu saja.
Sebagai contoh saya melihat petahana seharusnya membuat laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan Nawacita. Petahana memberikan penjelasan atas capaian visi dan misi lama yang ditawarkan lima tahun lalu. Sayangnya, saya tak mendengar istilah “Nawacita” digunakan kembali oleh petahana dalam kampanye Pemilu sekarang ini.
Saya punya catatan khusus mengenai hal ini. Nawacita sebenarnya adalah jargon saat kampanye. Secara teknis, Nawacita merupakan dokumen visi dan misi Saudara Joko Widodo saat menjadi calon presiden pada 2014 lalu. Idealnya, sesudah terpilih menjadi Presiden dokumen visi dan misi tersebut diturunkan ke dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2015-2019. Tapi sepertinya itu tak terjadi.
Kenapa saya bisa mengatakan begitu, karena saya membaca Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin pernah memberikan pernyataan bahwa salah satu kendala kenapa Nawacita tidak bisa terealisir adalah karena RPJMN yang kini berlaku disusun oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Apologi itu tentu saja tak berdasar.
RPJMN itu ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres). Nah, RPJMN yang saat ini berlaku, yaitu RPJMN 2015-2019, ditetapkan melalui Perpres No. 2/2015 yang diteken Presiden Joko Widodo pada tanggal 8 Januari 2015. Jadi, keliru sekali jika menyebut RPJMN yang berlaku saat ini produk pemerintahan SBY.
Ada dua kemungkinan kenapa dalih semacam ini bisa muncul. Pertama, alasan itu dibuat sebagai kambing hitam atas ketidakberhasilan pemerintahan sekarang ini dalam merealisasikan Nawacita. Artinya, sebagai sebuah visi dan misi, Nawacita memang diakui telah gagal direalisasikan.
Atau, kedua, pemerintahan sekarang ini memang tak becus menyusun rencana pembangunan, sehingga apa yang menjadi visi dan misi mereka, dalam hal ini Nawacita, tak sanggup mereka turunkan dalam wujud rencana kerja konkret pemerintah, yaitu menjadi RPJMN.
Makanya kita kemudian melihat adanya ketidaksinkronan antara apa yang dulu dijadikan jargon saat kampanye, dengan apa yang diklaim sebagai keberhasilan. Misalnya, dulu jargonnya “Revolusi Mental”, tapi kemudian yang dibangun secara jor-joran justru adalah jalan tol, atau infrastruktur fisik.