SIRAH NABAWIYAH

Rasulullah Saw sebagai Pendidik (Bag-2-habis)

Kesuksesan Rasulullah dalam mendidik bangsa Arab, selain dengan strategi pendidikan yang jitu, tentu tidak lepas dari sifat-sifat teladan beliau sebagai seorang pendidik.

Profesor Doktor Muhammad Rawwas Qal’ah Jie, dalam kitabnya, “Dirasah Tahliliyah li Syakhsiyyah ar-Rasul Muhammad”, menjelaskan setidaknya ada delapan sifat Rasulullah yang harus jadi teladan para pendidik agar sukses dalam mendidik masyarakat.

Pada edisi sebelumnya telah dijelaskan empat sifat Rasulullah yang harus jadi teladan para pendidik agar sukses dalam mendidik masyarakat. Berikut uraian selanjutnya.

Kelima, Berhati Lembut (Hilm)

Seorang pendidik harus berlapang dada dan berhati lembut (hilm). Dia tidak boleh dihasut oleh kesalahan, bahkan oleh penghinaan yang ditujukan kepadanya. Tetapi, dia harus menyimpannya kemudian mengemukakannya dengan nada meremehkannya. Setelah itu, dia harus mengarahkan perhatiannya untuk memecahkan faktor penyebab kesalahan tersebut.

Rasulullah saw adalah orang yang paling berhati lembut, hingga tak seorang pun bisa menghina beliau. Telah diriwayatkan dari Anas bin Malik yang bertutur: “Saya pernah berjalan dengan Rasulullah saw dan beliau memakai selimut buatan Najran, yang kulit luarnya kasar. Ketika beliau diketahui oleh orang Badui, tiba-tiba orang tersebut menarik selendang (syal) beliau dengan tarikan yang sangat kuat, sehingga saya melihat leher Rasulullah saw meninggalkan bekas kulit selimut akibat kuatnya tarikan tadi. Kemudian orang tersebut berkata: ‘Wahai Muhammad, berikan kepadaku harta Allah yang kamu miliki. – dalam riwayat lain dinyatakan: Anda tidak membawakan untukku dari harta anda, dan juga harta bapak anda – Rasulullah kemudian menoleh kepadanya, dan tertawa, lalu memerintahkan agar dia diberi (harta benda).”

Keenam, Pemaaf dan Pengampun

Kelembutan hati Rasulullah saw tatkala perlakuan buruk ditujukan kepada pribadi beliau membuat beliau selalu menyertainya dengan ampunan dan pemberian maaf kepada pelakunya, agar orang itu bisa memulai kembali kehidupan barunya.

Rasulullah saw telah memaafkan orang Yahudi yang menyihirnya. Beliau juga telah memaafkan seorang wanita yang telah menaburkan serbuk racun dalam daging kambing yang disajikan kepada beliau. Beliau juga memaafkan Ghaurats yang berniat membunuh beliau. Demikian juga memaafkan orang yang berbuat nista kepada beliau, termasuk orang Badui yang telah menaik syalnya hingga kulit selimutnya membekas di leher beliau. Beliau juga bisa memaafkan orang Badui yang diberi sesuatu oleh Rasul, kemudian beliau tanya: “Apakah aku sudah berbuat baik kepadamu?” Dia menjawab: “Tidak. Dan anda pun tidak pernah berbuat baik.”

Beliau juga telah memaafkan penduduk Makkah setelah mereka menganiaya dan mengusir beliau dari negerinya, serta memerangi beliau di mana saja beliau berada. Beliau bersabda kepada mereka, “Tak ada celaan sedikit pun yang layak ditujukan kepada kalian. Pergilah, kalian semuanya bebas.”

Ketujuh, Kepribadian yang Kuat

Syarat bagi seorang pendidik harus mempunyai kepribadian yang kuat, tidak cacat dan diragukan agar berpengaruh terhadap obyek didiknya. Kepribadian yang kuat tidak memerlukan banyak hukuman (sanksi), sebaliknya bisa mencegah terjadinya banyak kesalahan serta mampu menanamkan keyakinan dalam diri.

Rasulullah saw benar-benar mempunyai kekuatan pribadi, yang bisa beliau gunakan untuk menghujani hati musuh-musuh beliau dengan keyakinan, begitu pertama kali bertemu dengan beliau. Telah dituturkan mengenai sifat beliau, “Orang yang melihat beliau pasti kagum kepada beliau.”

Kedelapan, Percaya Sepenuhnya (Iqtina) pada Tugas Pendidikan

Istilah para pengkaji mengenai sifat ini berbeda-beda. Ada yang menyebutnya dengan: Iman (keyakinan penuh), tetapi ada juga yang menyebutnya dengan: hubb al-amal (cinta pada tugas), dan ada juga yang menyebutnya dengan: iqtina bi al-amal (percaya penuh pada tugas).

Sifat ini merupakan prasyarat yang harus dipenuhi oleh pendidik. Sebab, pendidikan merupakan kontribusi mental dan spiritual. Jika seorang pendidik tidak percaya sepenuhnya dengan tugas pendidikannya, niscaya tidak akan mampu memberikan kontribusi ini. Wallahu a’lam. [HABIS]

Shodiq Ramadhan

Artikel Terkait

Back to top button