OPINI

Refleksi Hari Guru Sedunia: Momentum Revitalisasi Guru

Tahun ini, Hari Guru Sedunia jatuh pada Sabtu, 5 Oktober 2024. Mengangkat tema “Valuing teacher voices: Towards a new social contract for education”, Hari Guru Sedunia diharapkan menjadi momentum untuk merayakan bagaimana guru mentransformasi pendidikan, serta merefleksikan dukungan yang mereka butuhkan untuk mengerahkan bakat saat menjalankan tugas. Perayaan ini juga berfokus pada nasib guru secara global di masa depan.

Dari laman resmi UNESCO menyebutkan bahwa perayaan Hari Guru Sedunia 2024 ini menekankan pada peran penting yang dimainkan guru dalam membentuk masa depan pendidikan dan kebutuhan mendesak untuk memasukkan perspektif mereka ke dalam kebijakan pendidikan dan proses pengambilan keputusan.

Tampak bahwa tema kali ini menyoroti pentingnya suara guru. Mengingat, suara guru begitu diperlukan guna memberikan pembinaan, serta menggali dan mengembangkan potensi terbaik dari setiap anak didiknya. Begitu pentingnya peran guru ini, tetapi fakta di Indonesia justru menunjukkan kondisi yang sebaliknya.

Di Indonesia, guru terus berhadapan dengan berbagai persoalan pelik. Mulai dari sengkarut nasib guru honorer; gaji guru yang tidak menyejahterakan; kurikulum yang membingungkan dan menjauhkan anak dari karakter dan perilaku terpuji; hingga tekanan hidup guru yang makin tinggi. Di sisi lain, peran guru juga tampak tak dihargai dengan sepatutnya, guru seolah hanyalah mesin produksi bagi generasi.

Dalam naungan sekularisme, jati diri guru pun kian tergerus. Tidak sedikit guru yang terjerumus melakukan tindakan buruk pada siswanya. Tega melakukan tindak kekerasan baik verbal maupun fisik bahkan seksual. Mirisnya, tidak sedikit kasus tindak kekerasan ini yang mengakibatkan siswa meregang nyawa.

Sebutlah, kasus siswa SMP Negeri 1 STM Hilir yang berinisial RSS meregang nyawa akibat mendapat hukuman melakukan 100 kali squat jump. RSS dihukum oleh seorang guru honorer di sekolahnya karena tidak hafal ayat di kitab suci. RSS sempat dirawat di Rumah Sakit Sembiring, Kabupaten Deli Serdang, tetapi kondisinya terus menurun hingga akhirnya meninggal.

Nasib nahas juga menimpa KAF, salah satu santri di pondok pesantren yang berada di Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar. KAF tewas setelah mengalami pendarahan hebat akibat tak sengaja terkena lemparan kayu dari seorang guru di pesantrennya. Diduga sang guru melempar kayu yang terdapat paku kepada teman korban, nahas justru terkena korban yang sedang melintas. (Tirto.id. 02/10/2024).

Data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyebutkan bahwa kasus kekerasan di satuan pendidikan dari Januari hingga September 2024 mencapai 36 kasus dengan korban tewas sebanyak 7 siswa. Sementara itu, pelaku kekerasan di satuan pendidikan tertinggi dilakukan oleh peserta didik teman sebaya (39 persen), guru (30,5 persen), kepala sekolah atau pimpinan ponpes (14 persen), kakak senior (8 persen), pembina pramuka (5,5 persen), dan pelatih ekskul (3 persen). (Tirto.id, 02/10/2024).

Ironis, guru yang seharusnya memiliki peran besar dalam memutus mata rantai kekerasan di sekolah, justru menjadi pelaku. Di sisi lain, beban guru yang makin berat dengan seabrek kewajiban-kewajiban administrasi dari pemerintah di sela-sela kesibukannya menyiapkan materi untuk mengajar, kerap membuat guru frustasi sehingga berujung memberikan hukuman fisik kepada siswa karena terlampau lelah dengan beban kerja yang berlebihan.

Guru dalam pusaran kekerasan makin menambah sengkarut dunia pendidikan. Hakikat pendidikan untuk melahirkan pemimpin masa depan makin kabur akibat guru yang tak mampu menjadi pendidik sekaligus pengayom bagi anak didiknya. Pribadi sabar nan bersahaja itu pun kian menghilang. Sosok guru sebagai teladan saat ini pun kian dirindukan.

Redupnya peran hakiki guru di tengah generasi bangsa sesungguhnya tidak lepas dari sistem kapitalisme-sekulerisme yang menjadi penggawa di negeri ini. Sistem yang berasaskan pemisahan agama yang berorientasi materi ini nyata telah gagal mencetak guru yang berkualitas. Padahal, pahlawan tanda jasa ini memainkan peranan penting dalam membangun fondasi adab, akhlak, dan kepribadian dalam diri generasi. Namun, alih-alih fokus dalam mendidik generasi bangsa, guru justru dipusingkan dengan berbagai persoalan pendidikan dan kehidupan.

Hari Guru Sedunia semestinya menjadi momentum menghidupkan kembali peran hakiki guru sebagai pendidik dan pencetak generasi terbaik bangsa. Namun, pesimis rasanya berharap demikian dalam naungan sistem kapitalisme-sekularisme saat ini. Peran hakiki guru niscaya hanya akan kembali pada fitrahnya andai berada dalam naungan sistem Islam.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button