MUHASABAH

Learning Loss Terjadi, Mampukah Diatasi?

Krisis pembelajaran atau Learning lols tengah menghantui, dengan meningkatnya kesenjangan pembelajaran antarwilayah dan kelompok sosial ekonomi. Setelah dilakukan tes PISA (Programme for International Student Assessment) 3.391 siswa SD dari tujuh kabupaten atau kota di empat provinsi pada Januari 2020 (sebelum pandemi) dan April 2021 (setelah pandemi). Hasilnya, 70 persen siswa berada di bawah kompetensi minimum untuk membaca (literasi) dan matematika (numerasi) dengan kisaran nilai 300-an, setara dengan kehilangan enam bulan belajar (Tempo.co, 11/02/2022). Kemudian dibandingkan dengan negara OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) seperti Singapura, Jepang, China, Jerman yang memiliki nilai kisaran 500.

Rupanya, bukan masa bakti Pak Nadiem saja learning loss terjadi. Semenjak awal bergabung PISA tahun 2000. Indonesia berada pada urutan yang rendah yaitu berada pada peringkat 38 dari 41 negara (tahun 2000). 18 tahun berlangsung tetap pada kondisi tertinggal yaitu peringkat 69 dari 77 negara (tahun 2018) (indonesiapisa.com). Tidak ada perubahan signifikan dalam 10-15 tahun terakhir dalam capaian pendidikan Indonesia meski sudah berganti 10 kali perbaikan kurikum sejak 1947-2013 (Kompas.id, 17/02/2022).

Alih-alih meratakan akses pendidikan dalam negeri, pemerintah mengeluarkan solusi dengan kurikulum merdeka atas masalah learning loss dan meyakini akan mampu mendongkrak nilai PISA.

Faktanya, kurikulum merdeka dalam merdeka belajar episode kelima belas yang dirancang dan dianggap mampu memitigasi ketertinggalan pembelajaran di masa pandemi, memberlakukan tiga opsi implementasi di tahun ajaran 2022/2023 (kemdikbud.go.id, 11/02/2021). Bukankah tiga opsi ini akan tetap membuat adanya kesenjangan pembelajaran antarwilayah dan kelompok sosial ekonomi? Yang mampu akan mengambil opsi kurikulum merdeka, sedangkan yang tidak mampu tetap dengan kondisi tertinggal.

Faktanya, kurikulum prototipe yang telah diimplementasikan di 2.500 sekolah unggul masih mengalami banyak kebingungan. Belum lagi masalah ruwetnya administrasi. Padahal menurut BPS (Badan Pusat Statistik ) total sekolah yang ada mencapai 217.283 sekolah (katadata.co.id, 26/11/2021). Sekolah yang siap ikut program saja bingung. Bagaimana nasib sekolah yang belum siap terutama daerah 3T?

Alih-alih membentuk insan bertakwa, cerdas, memiliki keterampilan untuk memajukan bangsa dan negara sebagaimana mandat UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Yang ada mengejar angka PISA, demi melahirkan lulusan yang siap kerja. Sementara  asing dan aseng tetap dibiarkan  menjarah Sumber daya Alam  (SDA) negeri. Lantas siapa yang diuntungkan, jika bukan para kapitalis?

Inilah fakta cacat bawaan sistem pendidikan kapitalis sekuler. Sebagaimana hasil dari UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) Report 2020 yang menunjukkan kecenderungan pendidikan global yang eksklusif. Terjadi ketidakmerataan distribusi sumberdaya dan peluang pendidikan yang sangat kontras, utamanya akibat kemiskinan.

Logika akumulasi dengan standar investasi, industri, informasi, dan individual menjadi tonggak elit kapitalis global bekerja. Negara berlepas tangan mengadakan pendidikan berkualitas, sebab yang terjadi komersialisasi pendidikan berbasis investasi. Pendidikan disetir dunia industri demi kepentingan dagang atau politik praktis dimana lulusannya disiapkan untuk kerja melayani pengusaha dan memuluskan kebijakan pro kapital. Belajar yang harusnya mendapat ilmu bergeser menjadi budaya ekonomis, jauh dari keimanan dan ketakwaan. Sebab karakter yang dibangun dalam pembelajaran adalah sekularis, hedonis, individualis, materialis, dan pragmatis.

Berbeda dengan pendidikan dalam Islam yang mampu memitigasi learning loss di negerinya maupun pengarunya dapat dirasakan dunia.

Pernah mendengar pernyataan “Barat bukanlah apa-apa, tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi dinamonya!”. Inilah pernyataan cendekiawan barat Montgomery Watt atas lahirnya bahwa peradaban Eropa.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button