Refleksi Surah Al-Hajj ayat 11: Bahaya Menyembah Allah Hanya Saat Senang

Seperti firman Allah dalam QS. Al-‘Alaq ayat 6-7 dan QS. Al-Anbiya ayat 35, Ayat-ayat tersebut harus dipahami dengan benar. Kenyataannya bahwa kita harus yakin kepada Allah, bahwa setiap apapun yang terjadi pasti Allah selipkan hikmah dibaliknya. Ketika kita sedang Allah kasih sakit dan sampai membuat kita tidak bisa keluar dari rumah, mungkin Allah sedang jauhkan kita dari hal yang buruk di luar sana. Seperti yang disebutkan dalam QS. Al-Baqarah 216.
Rasulullah menjelaskan: sikap seorang mukmin selalu baik, bila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, dan itu baik baginya. Bila mendapatkan kesusahan, dia bersabar, itu juga baik baginya. Sikap ini hanya dimiliki oleh seorang mukmin. (HR. Muslim)
Kekuatan dasar iman seseorang yakni ia mampu bersyukur ketika mendapatkan nikmat, dan ia bersabar ketika mendapatkan cobaan.
Fenomena ini sangat relevan dalam kehidupan saat ini. Tak sedikit orang yang mendekat kepada Allah ketika bisnis lancar, kesehatan terjaga, dan kehidupan terasa ringan. Namun, begitu krisis datang, entah dalam bentuk kehilangan, penyakit, atau kesempitan rezeki, mereka mulai meragukan hikmah Allah, bahkan menyalahkan-Nya. Ibadah yang awalnya tampak khusyuk perlahan ditinggalkan. Doa-doa yang dulu dipanjatkan mulai terputus.
Padahal, inti dari keimanan yang sejati adalah kepercayaan tanpa syarat. Keteguhan iman tidak hanya dinilai ketika keadaan baik-baik saja, melainkan justru ketika seseorang tetap bertahan dalam kesetiaan kepada Allah saat diterpa ujian. Di sinilah letak makna terdalam dari ayat ini: bahwa keimanan yang bersyarat tidak akan pernah membawa seseorang pada keselamatan. Bahkan, sebagaimana disebutkan dalam ayat, orang yang demikian akan “rugi di dunia dan akhirat”.
Kerugian di dunia bisa berupa kehilangan arah hidup, kerapuhan batin, dan kehampaan spiritual. Sedangkan kerugian di akhirat jauh lebih besar dari itu, yakni kehilangan surga, keridaan Allah, dan tempat kembali yang damai.
Maka dari itu, QS. Al-Hajj ayat 11 mengajarkan kepada kita pentingnya membangun fondasi iman yang kokoh. Karena, iman bukan transaksi untung-rugi duniawi, akan tetapi komitmen dan cinta kepada Allah yang tidak bergantung pada keadaan. Seorang mukmin sejati tetap teguh dalam suka maupun duka, karena ia yakin bahwa setiap ketentuan Allah, baik ketentuan itu manis ataupun pahit pasti mengandung kebaikan.
Dari penjelasan yang telah dipaparkan, marilah kita renungkan kembali, apakah kita telah menyembah Allah dengan sepenuh hati? Ataukah kita masih berdiri “di tepi”, menimbang-nimbang untuk masuk lebih dalam? Ayat ini adalah panggilan agar kita mengambil langkah penuh, menyelam dalam keimanan yang utuh, dan tidak lagi bersyarat dalam menyembah Tuhan Yang Maha Pengasih.[]
Ais Nur Aisah, Mahasiswa Universitas PTIQ Jakarta.