RESONANSI

Rektor UI Potong Burung

Dalam sejarah kita, peristiwa Malari tercatat sebagai gempa politik besar pertama yang menimpa rezim Orde Baru. Peristiwa itu bukan hanya mendapatkan atensi yang besar dari seluruh dunia, tetapi juga telah menumbangkan dan mengocok ulang sejumlah elite yang berada di lingkaran kekuasaan. Mahar Mardjono, Guru Besar Neurologi pertama di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), naik menjadi Rektor UI saat kemelut itu berlangsung.

Sebagai pimpinan universitas, Mahar Mardjono dikenal sangat melindungi mahasiswanya. Sikap kritis para mahasiswa sama sekali tak dianggap beban olehnya. Justru ia sangat mendorong mahasiswa UI untuk bersikap kritis. Dalam biografinya, “Mahar: Pejuang, Pendidik dan Pendidik Pejuang” (1997), ditulis jika Mahar adalah sosok yang independen. Ia tidak mudah ditekan, baik oleh kekuasaan, maupun oleh mahasiswa yang ketika itu biasa jadi kepanjangan tangan kelompok politik tertentu di luar kampus.

Pada tahun 1975, posisi Hariman Siregar sebagai Ketua Dewan Mahasiswa UI digantikan oleh Dipo Alam dari Fakultas MIPA. Saat berkampanye menjadi Ketua Dewan Mahasiswa UI, Dipo Alam berjanji akan membebaskan kawan-kawannya yang ditangkap dalam peristiwa Malari. Tentu ada catatan, yaitu bagi yang kasusnya belum masuk ke pengadilan. Dan Dipo Alam benar-benar merealisasikan janjinya. Sebagai anak Menteng sekaligus HMI yang punya jaringan luas, Dipo Alam memanfaatkan seluruh jaringannya untuk membebaskan teman-temannya.

Pada waktu itu ada sekitar 10 orang mahasiswa yang masih ditahan dan berkasnya belum sampai ke pengadilan. Mereka antara lain Eko Djatmiko Soekarsono (Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi), Judilherry Justam (Mahasiswa Fakultas Kedokteran, bekas Sekjen Dewan Mahasiswa UI), Abdul Salim Hutadjulu (Ketua Senat Mahasiswa FISIP UI), Gurmilang Kartasasmita (Mahasiswa Fakultas Kedokteran, mantan Wakil Ketua II Dewan Mahasiswa UI), Theo L. Sambuaga (Anggota Group Diskusi UI, bekas Wakil Ketua Dewan Mahasiswa UI) , Djarot Santoso (Mahasiswa Fakultas Ekonomi UI), dan Bambang Sulistomo (bekas Wakil Sekretaris Majelis Permusyawaratan Mahasiswa).

Dipo Alam dan kawan-kawannya, pengurus Dewan Mahasisawa UI, berkeliling menemui sejumlah tokoh, meminta agar pemerintah membebaskan kawan-kawan mereka. Salah satu tokoh yang kemudian besar pengaruhnya dalam upaya pembebasan itu adalah Jaksa Agung Ali Said. Dia memang dikenal sebagai jaksa yang lurus dan saleh.

Sesudah menerima penjelasan Dipo Alam dalam sebuah acara open house di rumahnya, Ali Said berjanji akan menyampaikan langsung permintaan itu kepada Presiden Soeharto. Dia meminta Dipo Alam untuk datang ke kantornya beberapa hari kemudian.

Dalam upayanya membebaskan kawan-kawannya tersebut, Dipo tentu saja selalu berkomunikasi dengan Rektor UI Prof. Mahar Mardjono. Kebetulan, ketika itu jabatan Wakil Rektor UI bidang Kemahasiswaan dijabat oleh Dr. Sri-Edi Swasono. Keduanya, menurut Dipo Alam, sama-sama dikenal dekat dengan mahasiswa dan selalu berusaha melindungi kepentingan mahasiswa.

Hasil pertemuan dengan Ali Said pun segera dilaporkan oleh Dipo Alam kepada Prof. Mahar Mardjono. Mereka merasa ada titik terang terkait nasib mahasiswa UI yang masih ditahan. Mahar Mardjono dan Sri-Edi Swasono bahkan bersedia mendampingi Dewan Mahasiswa UI menemui Jaksa Agung dalam sebuah pertemuan yang lebih resmi.

Karena mengagumi keberanian rektornya, tak urung Dipo Alam tetap bertanya.

“Pak, apa Bapak tidak takut nantinya dipecat Sjarif Thajeb?” tanya Dipo Alam.

Sjarif Thajeb adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala itu. Sesudah terjadinya peristiwa Malari, ia banyak mengeluarkan kebijakan yang merepresi kegiatan mahasiswa, termasuk menekan para pimpinan perguruan tinggi.

Ditanya begitu, Prof. Mahar Mardjono terkekeh.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button