QUR'AN-HADITS

Renungan Surah Al-Kahfi Ayat 109: Ilmu Allah yang Tak Terbatas

Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Kahfi ayat 109:

قُلْ لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمٰتِ رَبِّيْ لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ اَنْ تَنْفَدَ كَلِمٰتُ رَبِّيْ وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهٖ مَدَدًا

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, niscaya habislah lautan itu sebelum kalimat-kalimat Tuhanku selesai (ditulis) meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (Al-Kahf [18]:109)

Surah Al-Kahfi ayat 109 memiliki munasabah yang erat dengan ayat sebelumnya dan sesudahnya. Ayat 108 menjelaskan kenikmatan abadi di surga bagi orang beriman, lalu ayat 109 menegaskan bahwa ilmu dan kalimat Allah tidak terbatas lautan tinta pun tidak akan cukup untuk menuliskannya. Ini menunjukkan bahwa semua nikmat dan ketetapan berasal dari ilmu Allah yang tak terhingga.

Ayat 110 kemudian mengarahkan manusia untuk menyikapi kebesaran itu dengan tauhid dan amal saleh. Menurut al-Razi ayat 109 adalah tamsil tentang keluasan ilmu Allah, dan al-Alusi menegaskan pentingnya sikap rendah hati manusia di hadapan-Nya.

Ayat ini menyampaikan pesan teologis yang mendalam melalui perumpamaan lautan sebagai tinta untuk menuliskan kalimat-kalimat Allah, yang menunjukkan keluasan ilmu-Nya yang tak terbatas. Ayat ini dapat dimaknai sebagai pengingat bahwa ilmu manusia, seberapa pun luasnya, tetap sangat terbatas dibandingkan dengan ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu.

Dalam konteks perkembangan ilmu dan teknologi saat ini, ayat ini menjadi kritik halus terhadap kesombongan intelektual dan pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat pengetahuan. Ia menegaskan bahwa capaian ilmiah manusia tidak boleh lepas dari kesadaran bahwa semua itu adalah karunia dari Allah.

Dalam menafsirkan Surah Al-Kahfi ayat 109, para mufasir dari lintas zaman memberikan sudut pandang yang saling menguatkan.

At-Thabari, dalam tafsir klasiknya Jāmi‘ al-Bayan menjelaskan, ayat ini merupakan penegasan atas keluasan dan keabadian kalimat Allah, yang mencakup seluruh bentuk ilmu, kehendak, serta ciptaan-Nya. Bahkan jika seluruh lautan dijadikan tinta, maka semua itu tidak akan cukup untuk menuliskan seluruh kalimat-kalimat-Nya, menunjukkan bahwa ilmu Allah tidak terbatas dan mustahil dijangkau oleh akal manusia secara menyeluruh.

Kemudian, al-Alusi dalam Ruḥ al-Ma‘ani menafsirkan ayat ini sebagai bentuk pengagungan terhadap sifat ilmu Allah, sekaligus peringatan bagi manusia untuk menyadari keterbatasannya. Ia menekankan pentingnya sikap tawadhu‘di hadapan Allah karena manusia, dengan segala kecerdasannya, tetap tidak akan mampu menandingi keluasan ilmu-Nya.

Sementara itu, Wahbah al-Zuhailī sebagai mufasir kontemporer, dalam karyanya Tafsir al-Munīr, melihat ayat ini sebagai bentuk retorika Qur’ani (ta‘bir balaghi) untuk menegaskan bahwa ilmu Allah mencakup segala hal, tidak terhingga, dan tidak bisa dituliskan dengan sarana apapun meskipun menggunakan seluruh sumber daya di bumi. Ia juga menekankan bahwa pemahaman manusia hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan pengetahuan ilahi.

Hal ini diperkuat oleh Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Ẓhilalil Qur’an, yang mengkritisi kesombongan manusia modern terhadap capaian ilmu dan teknologi. Ia menegaskan bahwa ayat ini mengajak manusia untuk menundukkan dirinya di hadapan Allah, karena seluruh kemajuan itu tetap tidak akan mampu menyamai keluasan ilmu-Nya.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

BACA JUGA
Close
Back to top button