Rezeki Halal dan Rezeki Haram
Salah satu topik yang harus disampaikan kepada umat Islam secara bersih dan lurus adalah pemahaman seputar rezeki. Tentang pengertian rezeki, rezeki halal dan haram, dari mana datangnya rezeki, sebab-sebab datangnya rezeki, hubungan rezeki dengan usaha dan sebagainya. Persoalan rezeki adalah pembahasan dalam soal akidah.
Prof Dr M Mutawali Asy Sya’rawi, melalui kitabnya “Ar-Rizqu”, telah mengupas persoalan seputar rezeki ini secara jelas dan gamblang. Menurut beliau, rezeki itu adalah apa yang dapat dimanfaatkan manusia, apakah halal atau haram, baik atau buruk. Sebaliknya, semua yang tidak kita manfaatkan, meskipun kita memilikinya, bukan rezeki kita, akan tetapi rezeki orang lain.
Ada perbedaan antara hasil usaha dan rezeki seseorang atau antara kerja dan rezekinya. Kita tidak boleh mengatakan, bahwa hasil usaha seseorang adalah rezekinya. Padahal apa yang diperoleh (hasil kerja) orang itu terdapat rezekinya, rezeki istri, dan sanak keluarganya, bahkan bisa jadi rezeki orang lain juga, yang dia sendiri tidak mengetahuinya. Maing-masing akan dicapai oleh rezekinya dengan tepat tanpa kurang sedikit pun.
Kadangkala kita heran sekali melihat cara sampainya rezeki itu kepada manusia. Tidak seorang pun mengetahui sumber rezeki itu. Adakalanya orang itu pergi mencari rezeki ke berbagai tempat, tapi ia tidak mendapatkan apa-apa. Namun rezeki itu senantiasa mengetahui alamat pemiliknya, dan memahami jalan-jalan kesana, malah tidak pernah sesat jalan sedikit pun. Karena itu ditentukan oleh yang di langit, ditakdirkan oleh Allah Ta’ala. Selama ia ditakdirkan, pasti ia akan sampai ke alamat pemiliknya. Rezeki datangnya dari Allah Swt semata.
Rezeki, ada yang halal dan ada pula yang haram. Allah Swt berfirman, “Dan sementara orang yang Kami beri rezeki dengan rezeki yang baik, lalu dibelanjakannya dengan bersembunyi dan terang-terangan.” (QS. An Nahl : 75).
Menurut Prof. Asy Sya’rawi memang ada rezeki yang baik dan rezeki yang tidak baik. Lalu pertanyaannya, “Kalau rezeki itu ditakdirkan, baik yang baik maupun yang tidak baik, yang halal maupun yang haram, kenapa kita diperhitungkan atas rezeki yang haram?”
Beliau kemudian menjawab, Allah Ta’ala menakdirkan rezeki manusia. Kalau manusia beriman dengan itu, niscaya dia tidak akan menjulurkan tangannya mengambil yang diharamkan. Karena dia tahu benar, bahwa selama rezekinya sudah ditetapkan tentu ia akan sampai ke alamat sebesar yang ditetapkan oleh takdir-Nya. Dia hanya diwajibkan berikhtiar dan sabar. Kalau dia menghadapi berbagai kesulitan, hendaknya ia mempertabah dirinya dan berpegang teguh pada keimanannya. Karena, bersabar dengan rezeki dan berpegang teguh pada keimanan bisa mengundang datangnya rezeki yang halal. Namun, kalau ia tidak sabar pada rezekinya, karena selalu dirundung rasa takut, resah dan gelisah, karena kehampaan sudah menguasai kalbunya, niscaya ia tidak akan mengenal lagi perbedaan antara harta yang halal dengan yang haram.
Biasanya orang memberanikan diri mengulurkan tangannya pada harta yang haram itu, disebabkan rasa takut miskin, gelisah terhadap masa depannya, dan lain-lain sebagainya. Ia ingin mengamankan hari depan dan hari depan sanak keluarganya, padahal keamanan itu hanya ada di tangan Allah Ta’ala.
Banyak orang yang berkeyakinan, bahwa modal harta kekayaan itu bisa melindungi dirinya dari kemiskinan, dan bahkan bisa membahagiakan hidupnya. Ada lagi yang berkeyakinan, bahwa dengan cara yang haram seorang dapat memiliki dan memperoleh kekayaan. Mereka adalah orang-orang yang telah disesatkan setan, jiwanya diliputi rasa takut dan gelisah, karena kurang kuat imannya dan mudah tergoda, firman-Nya:
“Sesungguhnya setan-setan itu hanya mempertakuti orang-orang yang di bawah pimpinannya, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kamu kepada-Ku.” (QS. Ali Imran : 175)
Padahal jika kita merenungi dan berusaha meresapi adanya jaminan rezeki dari Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya, niscaya tidak ada alasan bagi kita untuk resah dan gelisah. Allah Swt berfirman:
“Dan di langit ada rezekimu dan apa-apa yang dijanjikan kepadamu. Demi Tuhannya langit dan bumi, sesungguhnya apa-apa yang dijanjikan itu adalah sebenarnya, seumpama perkataanmu.” (QS. Adz-Dzariyat : 22-23)
Renungkanlah firman-Nya dan janji-Nya di atas itu, supaya kita tidak tertipu dengan sarana dan ikhtiar. Pahamilah arti dan maksudnya, agar kaki kita tidak mudah tergelincir, padahal seharusnya ia makin kita kokohkan, kepala kita tidak boleh ditundukkan, padahal seharusnya ia ditegakkan. Allah Ta’ala telah memberikan jaminan kepada semua makhluknya, bahwa rezeki mereka akan senantiasa dijamin, supaya mereka hidup terhormat dan mulia, tidak menundukkan kepalanya kecuali kepada-Nya. Wallahu a’lam bissawab.
(Shodiq Ramadhan)