SUARA PEMBACA

RUU Bermasalah karena Lahir dari Rahim Demokrasi

Munculnya RUU bermasalah, membuat publik resah. #GejayanMemanggil, #SurabayaMenggugat, dan #SemarangMelawan pun muncul, sebagai respon penolakan sejumlah RUU bermasalah. Gelombang aksi mahasiswa tersebut merupakan bukti bahwa kegeraman rakyat telah sampai ke ubun-ubun.

Beberapa revisi UU dan RUU bermasalah yang menjadi target penolakan mahasiswa di antaranya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), RUU Pertanahan, RUU Minerba, RUU Pemasyarakatan, dan RUU Ketenagakerjaan. Khusus RKUHP, mahasiswa menilai RKUHP dapat membungkam demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Misal, tentang pasal yang mengatur soal makar. Pasal tersebut beresiko menjadi pasal karet yang akan memberangus demokrasi dan represif.

Aksi penolakan terhadap berbagai RUU bermasalah seolah menjadi agenda rutin di republik ini. Tidak heran, alih-alih berpihak kepada kepentingan rakyat. Berbagai RUU tersebut justru kental dengan muatan kepentingan para elit dan kapitalis. Bahkan RUUP-KS kental beraroma liberal khas kaum feminis.

Undang-undang dalam bingkai demokrasi seolah menjadi cara intelek dan sopan, untuk meraih berbagai kepentingan. Baik itu kepentingan pribadi, keluarga, kelompok atau partai, rakyat luar, bahkan kepentingan asing. Lewat undang-undang inilah para pemilik kepentingan tersebut, merampas kekayaan alam dan intelektual rakyat secara legal dan tidak kentara.

Tak ayal, bila ditarik benang merah, akar munculnya UU bermasalah sejatinya ada pada sistem sekuler demokrasi yang diterapkan. Demokrasi menjadikan asas kebebasan untuk menetapkan aturan. Kebebasan mutlak adanya dalam hal ranah agama, berpendapat, kepemilikan dan berperilaku. Karena itu tidak heran bila aturan agama dinihilkan dalam membuat peraturan dan undang-undang.

Dalam bingkai demokrasi, agama tidak boleh dilibatkan dalam mengatur urusan publik. Agama hanya boleh mengatur problematika individu, ibadah dan akhlak saja. Sedangkan di ranah publik, agama disingkirkan. Sementara asas manfaat menjadi aturan baku yang mengikat masyarakat.

Liberalisasi hukum Islam juga tumbuh subur dalam demokrasi. Kaum liberal bahkan secara terang-terang menyerang dan menista hukum Islam. Akibat kebebasan berpendapat, ide-ide liberal disusupkan untuk menyerang dan menjauhkan syariah Islam. Perda syariah pun dikritik dan ditolak oleh para pentolan kaum liberal. Bahkan dengan fitnah bahwa syariah akan mengancam pluralitas, mengganggu stabilitas dan menimbulkan disintegrasi.

Kebebasan berperilaku telah menjerumuskan generasi ke lembah kenistaan. Atas dalih kebebasan berekspresi, pornografi dan pornoaksi tersebar luas tanpa jeda. Atas nama HAM, aurat bebas diumbar. Dan dengan dalih penghapusan kekerasan pada perempuan (RUUP-KS), aborsi, seks bebas dan seks menyimpang terancam dilegalkan.

Dalam naungan demokrasi, kebebasan kepemilikan memunculkan banyak undang-undang yang merampas hajat hidup rakyat dan kekayaan alam yang menjadi milik rakyat. Ambillah contoh Undang-undang Nomor 25/2007 tentang Penanaman Modal, Undang-undang Nomor 20/2002 tentang Ketenagalistrikan, dan Undang-undang Nomor 19/2003 tentang BUMN, adalah undang-undang yang membuka lebar bagi swasta dan asing menguasai aset negara dan kekayaan alamnya.

Kebebasan-kebebasan dalam rahim demokrasi inilah yang memunculkan RUU/UU bermasalah yang tak kunjung kelar. Terus memunculkan kontroversi dan polemik, hingga gelombang aksi penolakan rakyat. Sebab RUU/UU bermasalah tersebut tidak hanya memuat kepentingan para elit dan kapitalis. Tapi dengan sangat nyata menimbulkan ancaman diskriminasi, ketidakadilan, kekacauan, konflik, standar ganda, dan kezaliman. Karena produk undang-undang yang dihasilkan adalah buah dari akal manusia yang lemah dan terbatas, yang dipenuhi syahwat kepentingan dunia. Bukan dilandasi ketakwaan dan ketaatan pada aturan Sang Pencipta.

Menolak undang-undang bermasalah saja tidaklah cukup. Tapi diperlukan pula membangun kesadaran umat, bahwa dari rahim demokrasilah muncul undang-undang bermasalah. Sehingga terbentuk kesadaran di tengah umat untuk mengganti demokrasi dengan sebuah sistem yang sesuai dengan fitrah manusia.

Di sisi lain, sangat penting memahamkan pada diri umat. Bahwa sejatinya yang berhak membuat aturan hidup hanyalah Allah Ta’ala saja. Sebagaimana firman Allah Swt: “Menetapkan hukum hanyalah hak Allah” (TQS. al An’am [6] : 57).

Karena sesungguhnya kedaulatan hanya milik Allah Swt., bukan di tangan manusia. Artinya, Allah Swt. sajalah sebagai Al-Musyarri’. Sementara manusia hanya pelaksana. Allah Swt berfirman,

“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin.” (TQS. Al Maidah [5]: 50).

Kebebasan individu jelas terikat dengan hukum syara’. Sebab seorang Muslim wajib terikat dengan perintah dan larangan Allah Swt., Al-Khaliq Al-Mudabir. Maha Benar Allah Swt. dalam firman-Nya,

“Katakanlah (Hai Muhammad): Taatilah Allah dan Rasul-Nya. Jika kamu berpaling, maka Allah tidak menyukai orang-orang yang kafir.” (TQS. Ali ‘Imran [3]: 32).

Jelas, hanya dari rahim demokrasi lahir berbagai undang-undang bermasalah. Dan hanya dalam sistem Islam yang diterapkan secara kafah dalam institusi negara, segala produk hukum akan membawa maslahat. Karena bersumber dari aturan yang diturunkan oleh Allah Swt. kepada Rasulullah Saw. Dan diwariskan kepada kaum Muslimin dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Wallahu ‘alam bishshawwaab.

Ummu Naflah
Founder Generasi Muda Islam Menulis (GENDIS)

Artikel Terkait

Back to top button