RUU Cipta Kerja Melegalisasi Kezaliman?
Netizen menaikkan tagar #ReformasiDikorupsi menjelang sidang paripurna DPR besok Kamis, 15 Juli 2020. Sidang itu sedianya hendak membahas RUU Omnibus Law. RUU ini dinilai kontroversial karena ditolak di sana sini namun tetap ngotot dilanjutkan.
Pembahasan RUU Cipta Kerja kembali ramai diperbincangkan. Setelah kelompok buruh keluar dari tim teknis RUU Cipta Kerja. Badan legislatif menyayangkan keluarnya kelompok buruh dari tim teknis. Dirangkulnya kelompok buruh diharapkan ada titik temu antara pengusaha dan buruh yang memberi win-win solution bagi kedua pihak, sesuai dengan tujuan RUU Cipta Kerja.
Kelompok buruh memiliki alasan tersendiri ketika keluar dari tim teknis yang dibentuk oleh Kementerian Ketenagakerjaan. Disinyalir karena arogansi Asosiasi Penguasaha Indonesia (Apindo) dan Kamar Dagang Industri (Kadin).
“Unsur Apindo/Kadin dengan arogan mengembalikan konsep RUU usulan dari unsur serikat pekerja dan tidak mau meyerahkan usulan konsep Apindo/Kadin secara tertulis,” ujar Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Selasa (14/7/2020).
RUU Omnibus Law klaster ketenagakerjaan, bertujuan menciptakan jutaan lapangan pekerjaan. Namun dengan sistem kerja yang menguntungkan pengusaha dan merugikan buruh. Diantara pasal-pasal kontroversi yaitu penghapusan upah minimum regional, penghapusan cuti panjang. Pengusaha bisa mempekerjakan TKA tanpa ijin tertulis, bisa menggunakan tenaga outsourcing yang hanya menguntungkan pihak penyedia tenaga kontrak.
Dan masih banyak lagi pasal-pasal yang merugikan buruh dan menguntungkan pengusaha. Ini yang memicu gelombang protes para buruh dalam beberapa demo besar. Sempat dihentikan sementara pembahasannya oleh presiden. Namun para pengusaha sudah tak sabar menikmati angin segar dari RUU Omnibus Law. Pembahasan pun dilanjutkan dengan posisi semula, pengusaha menduduki buruh.
Deadlock. Antara pekerja dan pengusaha tak menemukan titik temu. Semestinya pembahasan RUU ini dihentikan. Namun hal itu tidak mungkin terjadi. Beberapa alasan mengapa tetap dilanjutkan.
Pertama, penguasa sudah terlanjur berjanji pada pengusaha yang memberinya modal untuk menempati kursi jabatan yang empuk. Berjanji untuk memuluskan semua proyek kapital lewat UU demi mengembalikan modal. Meminjam judul buku Husin Matla: Demokrasi Tersandera. Saling mencekik leher antara eksekutif dan legislatif, diadu oleh pengusaha yang memodali mereka.
Kedua, sistem demokrasi ini telah menjelma menjadi oligarki. Semua urusan rakyat menjadi proyek bancakan antara penguasa dan pengusaha. Rakyat megap-megap akibat persekongkolan mereka. Sekuat apapun berteriak dan memprotes, tetap tak didengar. Alih-alih didengar, justru jeruji besi mengancam atas kritik yang disampaikan.
Ketiga, mindset kapitalisme dari para penguasa. Yang ada di benak hanya duit duit dan duit. Dan untuk mendapatkannya dengan menempuh berbagai cara meskipun harus menzalimi rakyat.
Secara kasat mata rakyat mampu melihat kezaliman ini. Satu diantaranya adalah RUU Cipta Kerja ini. Para pengusaha menginginkan peningkatan produksi agar mendapatkan keuntungan yang besar. Untuk meningkatkan produksi, jelas memerlukan penambahan pekerja. Dan diperlukan seperangkat aturan agar mendapatkan buruh murah serta bisa memakai tenaganya tanpa beban apapun. Itulah RUU Cipta Kerja.
Demi kelangsungan hidup manusia, mengembalikan manusia pada wujud manusiawinya. Sangat urgen untuk meng-uninstall sistem kapitalisme dan beralih ke sistem Islam. Sistem yang akan membuat pengusaha membayarkan upah pekerja sebelum kering keringatnya. Sistem yang akan memastikan para pemakai tenaga kerja berlaku manusiawi dan jauh dari kezaliman. Sistem yang menjamin penguasa berlaku adil dan mengutamakan kepentingan rakyat. Wallahu a’lam. []
Mahrita Julia Hapsari, M.Pd
Praktisi Pendidikan