Ruwaibidhah: Saat Orang Bodoh Mengurusi Urusan Umat
Pertama, memberi peringatan tentang bahaya dan dampak berbicara tanpa landasan ilmu. Sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam Qs Al-Baqarah: 168-169 dan Qs Al-Isra’: 36.
Kedua, penjelasan pentingnya sifat jujur sekaligus peringatan keras bahaya dusta, yang selaras dengan sabda Rasulullah saw dari Abdullah bin Mas’ud ra yang artinya:
“Hendaknya kalian bersikap jujur, karena kejujuran menuntun kepada kebaikan, dan kebaikan itu menuntun ke surga. Bila seseorang terus bersikap jujur dan berjuang keras melaksanakannya, ia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur (shidiq). Jauhilah kedustaan, karena ia menyeret kepada keburukan, dan keburukan menjerumuskan ke neraka. Bila seseorang terus berdusta dan mempertahankannya, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR Muslim).
Ketiga, Hadits ini menjelaskan, hendaknya seseorang memilih pemimpin yang memiliki kualifikasi dan kemampuan, baik ilmu, amanah, dan kejujuran, di samping pertimbangan lainnya.
Keempat, Hadits ini menunjukkan jalan keluar ketika menghadapi situasi kacau semacam itu dengan kembali kepada ilmu (Al-Qur’an dan Al-Sunnah) dan ulama.
Kelima, Hadits ini mengingatkan pentingnya menjaga amanah dan bahaya menyia-nyiakannya, di mana sejalan dengan penjelasan Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali:
‘Wa madhmunu ma dzukira min asyrat al-sa’ah fi hadza al-Haditsi yarji’u ila al-umur tawassadu ila ghairi ahliha, kama qala al-Nabiyu Shallallahu ‘alaihi wa sallama liman sa‘alahu ‘an al-sa’ati; idza wusida al-amru ila ghairi ahlihi fantazhirri al-sa’ati’. (Kandungan yang tertera dalam hadits ini berupa tanda-tanda datangnya kiamat kembali pada persoalan-persoalan banyaknya urusan yang diserahkan pada yang bukan ahlinya, seperti sabda Nabi saw pada orang yang bertanya tentang arti al-Sa’ah (kiamat-kehancuran): “(yaitu) Jika urusan diserahkan pada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya).” (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, 1/139).