Saat Penghina Rasulullah Saw Dijamu Bak Sahabat

Kunjungan Presiden Prancis ke Indonesia beberapa waktu lalu menyisakan tanya dan luka bagi sebagian besar umat Islam. Sebab bagaimana pun, negeri yang ia pimpin adalah tempat di mana penghinaan terhadap Nabi Muhammad Saw tidak hanya dibiarkan, tapi dibela secara terbuka atas nama kebebasan berekspresi.
Bagi umat Islam, hal itu bukan sekadar perbedaan pandangan, melainkan bentuk nyata penodaan terhadap kehormatan Rasulullah Saw yang mulia. Maka, ketika ia disambut begitu hangat dan penuh kehormatan oleh pemimpin negeri Muslim terbesar di dunia, wajar jika banyak hati umat yang terusik.
Diplomasi Tidak Harus Mengorbankan Kehormatan
Tidak ada yang menolak pentingnya hubungan internasional. Diplomasi antarnegara memang sebuah keniscayaan di dunia modern. Namun, mestikah seluruh prinsip dikorbankan demi menjaga hubungan tersebut? Tidakkah ada garis batas yang tak boleh dilintasi, terutama ketika menyangkut kehormatan agama yang dianut mayoritas rakyat negeri ini?
Kita tentu tidak menuntut sikap permusuhan, tapi paling tidak—ada sikap tegas, ada simbol keberpihakan kepada umat. Paling tidak, umat tahu bahwa pemimpinnya tidak serta merta melupakan luka itu. Bahwa penghinaan terhadap Rasulullah Saw bukan persoalan yang bisa ditutup begitu saja oleh senyuman dan perjanjian dagang.
Rekam Jejak Prancis: Masihkah Kita Lupa?
Umat tentu masih ingat bagaimana Prancis—melalui media seperti Charlie Hebdo—berulang kali menerbitkan karikatur Nabi Muhammad Saw yang sangat melecehkan. Lebih dari itu, presiden mereka sendiri menyebut tindakan itu bagian dari “kebebasan berekspresi”, dan membela penuh hak tersebut di hadapan dunia. Bahkan, saat umat Islam dunia memprotes dan menyerukan boikot, tidak ada permintaan maaf, tidak ada koreksi, hanya penguatan retorika Islamofobia.
Selain itu, Prancis juga tercatat sebagai salah satu negara yang cukup represif terhadap simbol-simbol Islam. Larangan hijab, pembatasan sekolah Islam, bahkan pelarangan azan di ruang publik, menunjukkan bahwa negara ini tidak ramah terhadap identitas Islam. Ini bukan soal kebijakan internal mereka, tapi bagaimana sikap itu secara konsisten memojokkan Islam sebagai agama yang dicurigai dan ditekan.
Pemimpin Negeri Muslim: Dimana Suara Kecintaan pada Rasul?
Sebagai negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, sudah seharusnya Indonesia menunjukkan bahwa umat ini tidak kehilangan nurani atas apa yang menyakitkan Islam. Pemimpin bukan hanya bertanggung jawab dalam urusan ekonomi dan pembangunan, tetapi juga menjadi representasi sikap umat terhadap hal-hal prinsipil dalam agama.
Rasulullah Saw. bukan hanya figur sejarah, beliau adalah sosok yang lebih dicintai oleh kaum Muslimin melebihi diri mereka sendiri. Maka, ketika beliau dihina, wajar bila umat menuntut adanya pembelaan. Tidak harus dalam bentuk tindakan ekstrem, cukup dengan sikap—bahwa ada batas yang tak bisa dikompromikan demi menjaga harga diri umat ini.
Umat Perlu Kesadaran Politik yang Berpijak pada Akidah
Umat Islam hari ini membutuhkan lebih dari sekadar reaksi emosional sesaat. Kita memerlukan kesadaran politik yang bersandar pada akidah. Kesadaran bahwa relasi internasional bukan hanya soal ekonomi, tapi juga tentang identitas dan prinsip. Bahwa Islam memiliki panduan dalam bersikap terhadap dunia luar, yang tidak lepas dari loyalitas kepada agama dan umat.
Sayangnya, selama umat belum memiliki kekuatan politik global yang berpijak pada Islam, berbagai penghinaan semacam ini akan terus terjadi, dan dibiarkan berlalu tanpa pembelaan berarti. Inilah pentingnya umat memiliki kekuatan bersama, kekuatan yang berani berkata tidak ketika kehormatan Rasul diinjak, dan yang mampu membela Islam bukan hanya lewat kata, tetapi lewat kebijakan dan posisi strategis di level global.
Momen untuk Bangkit, Bukan Bungkam
Kunjungan ini seharusnya menjadi momentum muhasabah bagi umat Islam. Bahwa selama kita belum punya keberanian untuk bersikap atas nama Islam, selama itu pula kita akan terus menyaksikan kemuliaan Rasulullah Saw dipertaruhkan atas nama sopan santun diplomatik. Umat harus bangkit. Bukan untuk marah-marah tanpa arah, tapi untuk menyusun kembali kekuatan politik yang berpijak pada Islam dan keberpihakan kepada Rasulullah Saw.
Sudah saatnya suara umat bukan hanya terdengar saat marah, tapi juga hadir dalam bentuk solusi. Kita rindu pemimpin yang bersuara lantang saat Islam disakiti. Kita rindu sistem yang tidak ragu menyebut bahwa kehormatan Rasulullah adalah kehormatan umat seluruhnya—yang tak bisa ditawar, dan tak bisa dijual. Wallahu a’lam bishshawwab.[]
Rumaisha, Pejuang Literasi