SAKINAH

Saat Qawwam Terabaikan, Keluarga pun Rapuh

Tragedi pilu yang terjadi di Banjaran, Bandung, di mana seorang ibu bersama dua anaknya mengakhiri hidup dengan secarik kertas bertuliskan “cape”, bukan sekadar berita kriminal biasa.

Ini adalah potret nyata bagaimana rapuhnya fondasi keluarga ketika sistem yang ada gagal menghadirkan perlindungan dan suami lalai menjalankan perannya sebagai qawwam.

Dalam Islam, Allah menegaskan bahwa suami adalah qawwam atas keluarganya (QS. An-Nisa: 34). Qawwam berarti pemimpin, pelindung, penopang, dan penanggung jawab. Ia bukan sekadar pemberi nafkah, tapi penjaga ketenangan jiwa istri, benteng bagi anak-anak, serta pengayom yang mengarahkan keluarga menuju ridha Allah. Namun, hari ini banyak keluarga kehilangan peran itu. Suami tak lagi menjadi pelindung, bahkan kadang justru menjadi penyebab luka.

Kasus Banjaran menggambarkan hal itu dengan telak. Sang ibu menulis rasa lelahnya dalam surat terakhir, yang diduga kuat lahir dari konflik rumah tangga, tekanan batin, dan pengkhianatan amanah seorang suami. Ketika qawwam absen, seorang ibu yang seharusnya didukung justru harus memikul beban seorang diri. Akibatnya, keputusasaan pun menjadi jalan pintas.

Lebih luas, tragedi ini adalah buah dari sistem kehidupan sekuler yang menempatkan keluarga sekadar urusan privat. Negara baru bereaksi setelah bencana terjadi, padahal sejatinya negara dalam Islam wajib hadir sejak awal: memastikan laki-laki benar-benar dididik menjadi qawwam, memastikan nafkah keluarga terjamin, serta menciptakan lingkungan sosial yang memuliakan peran ibu.

Keluarga adalah unit terkecil peradaban. Jika qawwam-nya runtuh, maka keluarga pun runtuh. Jika keluarga rapuh, masyarakat pun goyah. Maka tragedi Banjaran harus dibaca sebagai alarm keras: bahwa kita tidak bisa terus membiarkan keluarga berdiri di atas sistem rapuh yang abai pada peran suami dan minim kepedulian sosial.

Islam telah memberi solusi yang jelas. Suami wajib menjalankan qawwam dengan penuh tanggung jawab, cinta, dan pengorbanan. Istri dimuliakan sebagai pendamping sekaligus madrasah pertama bagi anak-anak. Ia juga senantiasa bersyukur dan taat kepada suami, ridho dan bersabar atas segala ujian. Negara hadir menegakkan aturan yang menjamin kedua peran ini berjalan dengan seimbang.

Pertanyaannya: apakah kita masih akan menutup mata hingga ada lagi surat “cape” lain yang tertulis sebagai jeritan terakhir? Ataukah kita berani kembali kepada aturan Allah yang menempatkan suami benar-benar sebagai qawwam, sehingga keluarga kembali menjadi tempat pulang yang menenangkan? Wallahu a’lam bishowab. []

Selvi Sri Wahyuni, M.Pd

Artikel Terkait

BACA JUGA
Close
Back to top button