Saat Sahabat Berbeda Pendapat
Ini menunjukkan, melenyapkan perbedaan dalam masalah-masalah furu’ yang bersumber dari dalil-dalil zanni merupakan sesuatu yang tidak mungkin bisa dibayangkan atau terjadi.
Sembari mengutip pendapat Syekh Said Ramadhan Al-Buthi dalam kitab Fiqhus Sirah, Ash-Shalabi menuliskan bahwa usaha untuk melenyapkan perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’ bertentangan dengan hikmah rabbani dan aturan ilahi dalam pemberlakuan syariat, di samping melakukan tindakan sia-sia dan batil.
“Bagaimana bisa perbedaan pendapat dalam suatu hal bisa dilenyapkan selama dalilnya masih bersifat zanni dan mungkin. Jika pemberantasan perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’ terjadi di masa kita tentu masa yang lebih berhak untuk itu adalah masa Rasulullah, dan tentu orang-orang yang paling baik untuk tidak berbeda pendapat adalah para sahabat. Toh mereka sendiri berbeda pendapat seperti yang sudah anda tahu,” kata Al-Buthi.
Dari hadis sebelumnya dapat dipahami, tidaklah tercela orang-orang yang bersandar pada tekstual hadis Nabawi atau ayat Al-Qur’an, juga tidak tercela orang orang yang mengambil maksud dan makna tertentu dari suatu nash. Hadis ini juga menunjukkan, orang-orang yang berbeda pendapat dalam masalah furu’ termasuk kalangan mujtahid, tidak ada dosa bagi yang salah. Nabi Saw sendiri bersabda, “Bila hakim berijtihad lalu benar, ia mendapat pahala, dan bila berijtihad lalu keliru, ia mendapat satu pahala”.
Kesimpulan riwayat, sebagian sahabat mengartikan larangan Nabi Saw tersebut secara hakiki, tidak peduli apakah waktu salat asar habis ataukah tidak, mereka mengkhususkan larangan untuk mengakhirkan salat dari waktunya dengan larangan khusus ini.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani memberi ulasan atas kejadian ini sebagai berikut: “Menjadikan kisah ini menjadi dalil bahwa setiap mujtahid benar secara mutlak tidaklah tepat, dalam hal ini Rasulullah hanya tidak mencela orang yang mencurahkan segenap usaha dan berijtihad, dengan demikian dapat dipahami beliau tidak menilai hal tersebut berdosa meskipun salah ijtihadnya. Kesimpulan yang terjadi dalam kisah ini, sebagian sahabat mengartikan nash tersebut secara tekstual, mereka tidak peduli apakah waktu salat asar sudah habis atau belum, lebih menguatkan larangan kedua ini atas larangan pertama (larangan mengakhirkan salat di luar waktu). Mereka berdalil untuk bolehnya menunda salat bagi yang sibuk berperang seperti yang terjadi dalam perang Khandaq. Sementara sebagian sahabat lain mengartikan, larangan tersebut secara tidak tekstual, maksud larangan tersebut adalah kiasan agar mempercepat perjalanan ke Bani Quraizhah. Inilah dalil yang dijadikan landasan jumhur bahwa orang yang berijtihad tidak berdosa karena Rasulullah tidak mencela seorang pun dari kedua kubu yang berbeda pendapat. Andai hal itu berdosa pasti Rasulullah mencela kubu yang bersalah dalam ijtihadnya itu.” Wallahu a’lam bisshawab.
(shodiq ramadhan)