OPINI

Saatnya Karantina Wilayah Jakarta

Perkembangan kasus Covid-19 semakin mencemaskan. Belum terlihat tanda bahwa wabah ini akan segera mereda mengingat dari waktu ke waktu jumlah pasien semakin bertambah.

Menurut data terbaru dari pemerintah pusat secara nasional, per 29 Maret 2020 tercatat; 1.285 kasus postif, 114 meninggal, dan 64 sembuh. Sedangkan dari data resmi DKI per 28 Maret 2020 yang dirilis di corona.jakarta.go.id tercatat 701 kasus positif, 67 meninggal, dan 48 sembuh.

Dalam rentang waktu 27 hari (terhitung sejak 2 Maret 2020 s/d 29 Maret 2020) Covid-19 telah merenggut 114 nyawa. Dalam waktu kurang dari satu bulan, lebih dari 100 nyawa melayang disebabkan oleh Covid-19. Fakta ini membuat CFR (Case Fatality Rate) atau tingkat kematian Covid-19 di Indonesia berkisar di angka 8,31%, dua kali lebih besar dibandingkan rata-rata CFR global 4%. Artinya, virus ini dua kali lipat lebih mematikan di Indonesia.

Sebenarnya dalam penanganan masalah Covid-19 terdapat dua hal mendasar yang harus segera diselesaikan. Pertama adalah penyakitnya dan kedua adalah penyebarannya. Peran saintis sangat krusial untuk segera menemukan vaksin yang akurat dalam waktu cepat untuk penanganan penyakitnya. Sedangkan peran pemerintah sebagai policy maker adalah merumuskan cara untuk menghadang, bahkan menekan penyebaran virus agar tidak meluas melalui kebijakan yang cepat dan tepat.

Jakarta sebagai episentrum Covid-19 tidak bisa dibiarkan terus terbuka. Ada tiga variabel utama yang membuat penularan terjadi secara pesat di kota ini. Pertama, Jakarta terdiri dari sekitar 10,57 juta penduduk. Kepadatan penduduk DKI Jakarta sebesar 15.938 jiwa per km2. (tertinggi diantara provinsi lain di Indonesia). Kedua, tingkat mobilitas penduduk sangat tinggi, pada 2019 tercatat jumlah penduduk yang hilir mudik dari dan ke Jakarta mencapai 1,2 juta orang per hari untuk seputar wilayah Jabodetabek. Ketiga, secara demografis penduduk usia 20-40 tahun berjumlah 1,03 juta penduduk atau 10 % dari total penduduk DKI Jakarta.

Menurut penelitian terbaru, orang-orang dengan rentang usia 20-40 tahun memiliki tingkat penularan yang tinggi. Mereka sangat berpotensi menjadi silent carrier, atau penderita tanpa gejala. Dalam salah satu studi terbaru di China, 58% dari 700 orang usia pelajar yang terinfeksi Covid-19 memiliki gejala ringan, bahkan tidak ada sama sekali. Membiarkan segmen usia ini leluasa bergerak memberi peluang besar untuk mendatangkan bahaya bagi kelompok usia rentan seperti kelompok lansia.

Menurut catatan Kompas, Jakarta mewakili 56,2% total kasus positif Covid-19 di Indonesia. Dalam 10 hari terakhir, terhitung sejak 20 Maret 2020, virus Covid-19 semakin menyebar keluar Jakarta. Data terlapor terkait Covid-19 di DKI per 29 Maret 2020 adalah 701 kasus terkonfirmasi. Kendati demikian, angka ini juga perlu dikritisi mengingat jika menggunakan tiga variabel di atas sebagai perangkat analisis, menjadi sangat mungkin jumlah penduduk Jakarta yang riil terinfeksi bisa lebih besar ketimbang jumlah yang terlapor.

Apalagi dengan rendahnya tingkat pengetesan oleh pemerintah. Hingga 27 Maret, baru sebanyak 10.459 rapid test telah berhasil dilakukan di DKI dan jumlah ini masih terbilang sedikit mengingat total penduduk di DKI sebesar 10,57 juta orang. Oleh sebab itu, kondisi di Jakarta saat ini bisa dikatakan seperti fenomena gunung es. Jakarta menyimpan segudang “panah merah” yang yang siap melesat ke daerah-daerah di luar Jakarta.

Menurut data Susenas BPS tahun 2015, asal migrasi risen ke Jakarta mayoritas dari Jabar (35,2%), Jateng (24,1%), Banten (6,5%), Jatim (6,5%) dan Sumatera Utara (4,1%). Dalam satu tahun setidaknya ada lebih dari 25 juta keberangkatan domestik keluar Jakarta melalui moda transportasi. Dari empat moda transportasi yang tersedia, transportasi udara menjadi moda yang paling banyak digunakan. Berdasarkan data BPS tahun 2019, jumah keberangkatan di bandara Soekarno-Hatta mencapai 19,3 juta. Bandara ini selama tahun 2018 telah melayani 52 tujuan domestik sedangkan bandara Halim Perdanakusumah melayani 72 tujuan domestik. Angka-angka ini mencerminkan betapa tingginya mobilitas dari provinsi DKI Jakarta.

Memasuki musim mudik akan menjadi tantangan besar bagi pemerintah provinsi DKI Jakarta untuk menahan laju perpindahan manusia keluar wilayah. Menurut tim peneliti dari Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi (PPMS) ITB, akhir pandemi diprediksi baru akan terjadi pada sekitar akhir bulan Mei. Artinya, Covid-19 belum akan berakhir saat memasuki masa mudik 2020. Orang-orang di Jakarta, khususnya yang belum memiliki kesadaran dan teredukasi dengan baik, kemungkinan besar akan mudik ke kampung halaman masing-masing sebelum ada kebijakan yang mengikat mereka untuk tidak melakukan mobilitas keluar kota. Artinya, kebijakan karantina wilayah sudah harus diterapkan sebelum memasuki masa mudik (bulan April). Langkah preventif ini perlu dilakukan dalam rangka menghadang “panah-panah merah” dari Jakarta yang akan melesat secara masif ke daerah-daerah di luar Jakarta. Membiarkan orang-orang ini leluasa melakukan mobilitas di tengah pandemi menjadi ancaman serius bagi wilayah lain di luar Jakarta.

Karantina Wilayah sebagai Solusi Mendesak

Jika meninjau kembali latar belakang yang telah dijelaskan di awal, kondisi Indonesia saat ini sangat mencemaskan. Penyebaran virus yang sulit dikontrol menjadi faktor yang mendorong angka pasien yang terus melonjak dan kematian semakin bertambah. Imbauan pemerintah untuk melakukan physical distancing dirasa kurang efektif untuk membatasi ruang pergerakan warga. Sebab, hanya ada dua cara untuk menahan warga agar tetap di rumah secara efektif. Pertama, kesadaran dari diri sendiri. Kedua, negara yang memaksa untuk menahan warga di rumah. Namun, mengingat kesadaran warga sejauh ini yang masih kurang, maka cara kedua perlu ditempuh, yaitu menahan mobilitas warga dalam rangka menekan angka penularan.

Untuk berangkat pada tahap tersebut, kita perlu kembali merujuk pada konstitusi agar penyelenggaraan kebijakan tersebut bisa dilakukan secara tepat dan efektif. Kita memiliki UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Karantina Kesehatan yang mengatur bagaimana seyogyanya negara mengambil peran dalam kondisi darurat kesehatan. Berdasarkan pasal 3 huruf (a) berbunyi:

“Penyelenggaraan Karantina Kesehatan bertujuan untuk melindungi masyarakat dari penyakit dan/ atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan masyarakat.”

Mengacu pada pasal ini, kita bisa dapati bahwa perlindungan terhadap masyarakat adalah peran utama yang perlu dilakukan oleh negara. Hal ini diperkuat juga oleh Bab III Tanggung Jawab Pusat dan Daerah pada pasal 4 yang berbunyi:

“Pusat dan Daerah bertanggungjawab melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/ atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat melalui penyelenggara kekarantinaan kesehatan”

Kendati demikian, semangat konstitusi tersebut tampaknya belum mempengaruhi secara mendalam penyelenggaraan kebijakan penanganan Covid-19 sejauh ini. Sebab fakta menunjukan bahwa negara terkesan tidak sigap di awal sehingga infrastruktur perlindungan bagi masyarakat tidak terbangun secara optimal. Kendati demikian, negara belum terlambat. Masih ada kesempatan untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa melalui pengambilan keputusan yang tepat. Salah satu yang mendesak saat ini adalah penanganan penyebaran virus.

Mengatasi penyebaran virus perlu dilakukan dengan menyasar episentrumnya, yaitu Jakarta. Penduduk DKI Jakarta harus “dipaksa” terisolir dari segala akses dari dan menuju Jakarta untuk membatasi ruang gerak virus. Pemerintah pusat harus segera melaksanakan langkah ini mengingat wewenang ada di pemerintah pusat. Hal ini telah diatur dalam Pasal 5, ayat (1) yang berbunyi;

“Pemerintah pusat bertanggungjawab menyelenggarakan kekarantinaan kesehatan di pintu masuk dan wilayah secara terpadu”

Sejumlah pakar bahkan telah memprediksi kemungkinan terburuk jika pusat penyebaran virus tidak segera ditangani melalui tindakan karantina. Prof. Susanto, ahli Matematika Terapan di University of Essex, Inggris memperkirakan sekitar 50% penduduk Jakarta akan terinfeksi dalam 50 hari sejak temuan kasus pertama pada 2 Maret 2020. Ia menggunakan Jakarta sebagai sampel dengan populasi 10 juta orang. Dalam kalkulasinya, puncak penyebaran virus ini akhirnya akan menginfeksi 50% populasi, bahkan lebih parah jika tidak diberlakukan lockdown.

Selain itu, Faisal Basri, pengamat ekonomi, mengatakan bahwa langkah yang tepat untuk bertempur melawan Covid-19 adalah dengan melakukan pembatasan atau lockdown. Menurutnya, pemerintah saat ini tengah bertempur dengan sesuatu yang kasat mata. Sulit untuk mengetahui situasi dan pemeriksaan perlu dilakukan dari rumah ke rumah. Ia menambahkan, Rapid Test tidak akan efektif jika mobilitas masih tinggi.

Secara mitigasi bencana, tindakan karantina wilayah sebenarnya adalah langkah untuk mengantisipasi lonjakan jumlah pasien di fasilitas kesehatan (faskes) yang tersedia mengingat faskes juga memiliki ambang batas. Karantina akan menahan mobilitas warga sehingga potensi penularan akan mengecil dan memberikan jeda bagi tenaga kesehatan dalam menangani pasien yang telah terjangkit secara optimal di fasilitas kesehatan yang tersedia. Artinya, pergerakan yang terkontrol akan memberikan kesempatan hidup lebih besar kepada mereka yang positif terjangkit.

Penulis memahami alasan terbesar pemerintah pusat belum menerapkan kebijakan ini, pertimbangan ekonomi. Secara kalkulasi ekonomi, dampak dari wabah Covid-19 akan membawa perlambatan pertumbuhan ekonomi sebesar 3,7%, lebih rendah dari yang ditargetkan pada 2020 yaitu 5.2%. Namun, menurut Prof. Arief Anshory dari SDG’s Center UNPAD, krisis ini diprediksi hanya akan berlangsung selama satu tahun dan pada 2021 akan berangsur pulih. Oleh karena itu keselamatan warga harus menjadi yang utama. Economy can recover, but we can’t recover dead bodies.

Sebagai penutup, pada pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 disebutkan dengan tegas bahwa salah satu tujuan berdirinya negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Oleh karena itu, keselamatan warga perlu menjadi prioritas. Keputusan yang cepat dan tepat dari pemerintah akan memberi kesempatan kepada lebih banyak nyawa untuk tetap bertahan. Maka, karantina wilayah Jakarta harus dilakukan sekarang juga!

Bukhori Yusuf, Lc., M.A.
Anggota Komisi VIII DPR RI

Artikel Terkait

Back to top button