RESONANSI

Sains Islam, Sudah Saatnya!

Pertama, tidak ada jejak Tuhan di alam Raya. Pandangan sekular tentang alam semesta yang melihat tidak ada jejak Tuhan (vestigia Dei) di dalam keteraturan alam terutama dalam kosmologi Kristen. Alam bukan lagi sebagai ayat-ayat Allah tetapi entitas yang berdiri sendiri.

Kedua, alam bersifat mekanistis. Alam raya atau kosmos digambarkan secara mekanistis (sebab-akibat) bagaikan mesin dan jam. Alam menjadi sesuatu yang bisa ditentukan dan diprediksikan secara mutlak -yang menggiring kepada munculnya masyarakat industri modern dan kapitalisme. Alam diibaratkan sebuah mesin atau jam yang jika sudah dinyalakan oleh penciptanya maka mesin atau jam tersebut berjalan dengan sendirinya sampai mati. Tuhan adalah watch maker, Sang pembuat jam. Ketika jam sudah jadi dan berjalan maka menurut sains Barat modern, Tuhan tidak ikut serta di dalamnya.

Ketiga, rasionalisme dan empirisisme. Sasaran kritik Nasr lainnya adalah paham rasionalisme dan empirisisme yang mendasar aktivitas sains Barat modern. Dalam Islam, rasio dan metode penelitian empiris induktif deduktif juga dipakai. Namun, sains Barat modern tidak mengakui selain itu. Sedangkan dalam Islam, sesuai dengan objek ontologi sains, di luar yang empiris dan rasional ada hal lain yang bisa diterima sebagai ilmu.

Keempat, dualisme Descartes. Nasr mengritik landasan rasionalisme dalam sains Barat modern yang mengandaikan sebelumnya pemisahan antara res cogitans dan res extensa, antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui. Landasan ini biasa disebut dengan dualisme, yaitu pemisahan akal sebagai substansi yang berpikir (substance that think) dan materi sebagai substansi yang menempati ruang (extended substance).

Kelima, eksploitasi alam sebagai sumber kekuatan dan dominasi. Kemajuan sains modern telah dipakai kaum kapitalis untuk mengekspoitasi alam dan menjadikannya kekuatan ekonomi. Kritik Nasr yang keras dalam hal kerusakan manusia dan lingkungan ini membuat Nasr juga dikenal sebagai seorang environmentalis.

Nasr memandang, selain terhadap sains, desakralisasi juga terjadi terhadap filsafat, kosmos, bahasa dan agama. Oleh karena itu Nasr menolak sains Barat modern yang relativistik, positivistik dan rasionalistik. Sebagai gantinya, Nasr menyarankan solusi berupa konsep tradisionalisasi sains atau sains sakral (scientia sacra).

Meskipun menerima sejumlah kritik terhadap sains Barat, Dr. Budi Handrianto mengkritik gagasan “scientia sacra” Seyyed Hossein Nasr. Gagasan ini, tidak seperti yang dibayangkan para ilmuwan Muslim, yaitu yang berhubungan dengan ilmu atau sains alam. Gagasan tentang “sains sakral” berkaitan dengan dunia filsafat, dalam hal ini filsafat perennial (philosophia perennis atau filsafat keabadian). Karena sangat filosofis, maka gagasan ini sangat tidak praktis dalam pengembangan sains dalam arti ilmu pengetahuan alam.

Menurut Nasr, scientia sacra tidak lain adalah pengetahuan suci yang berada dalam jantung setiap wahyu dan ia adalah pusat lingkungan inti yang meliputi dan menentukan “tradisi”. Ada dua sumber scientia sacra, yaitu sumber wahyu dan inteleksi atau intuisi intelektual yang menyelimuti iluminasi (cahaya) hati dan pikiran manusia, sehingga dimungkinkan hadirnya pengetahuan yang bersifat langsung dan dapat dirasakan dan dialami, atau dalam tradisi Islam disebut dengan al-ilmu al-hudluri (pengetahuan yang hadir).

Scientia sacra pada dasarnya adalah metafisika itu sendiri, jika istilah ini dimengerti secara tepat sebagai puncak sains tentang Yang Real; yakni metafisika dalam pengertian bahasa Timur seperti prajna, jniana (dalam tradisi Hindu) dan ma’rifat atau hikmah (dalam tradisi Islam) sebagai sains paripurna tentang Yang Real tanpa direduksi ke dalam bentuk cabang pengetahuan lain yang dikenal sebagai filsafat atau padanannya. Dalam pengertian ini hikmah (metafisik) identik dengan scientia sacra.

Gagasan sains sakral dari Nasr ini berawal dari pemikirannya mengenai tradisi. Nasr mengingatkan bahwa istilah “tradisi” bukanlah bermakna kebiasaan, adat istiadat atau penyampaian ide-ide serta motif-motif secara otomatis dari satu generasi kepada generasi selanjutnya. Tapi, “tradisi” adalah serangkaian prinsip-prinsip yang telah diturunkan dari langit yang ketika diturunkan itu ditandai dengan suatu manifestasi Ilahi, beserta dengan penyerapan dan penyiaran prinsip-prinsip tersebut pada masa-masa yang berbeda dan kondisi-kondisi yang berbeda bagi masyarakat tertentu. Jadi tradisi itu dengan sendirinya bersifat suci. Nasr kadang menyebutnya dengan sains yang benar-benar suci yang berakar di dalam realitas dan merupakan satu-satunya cara yang integral untuk menemukan realitas yang sekaligus menyelubungi manusia dan memancarkan cahaya terang di dalam pusat eksistensinya. Tradisi adalah ajaran-ajaran yang diturunkan Tuhan kepada seluruh manusia. Ia terdapat di dalam setiap agama dan kepercayaan yang ada. Tradisi ini merupakan inti dari setiap ajaran-ajaran agama dan kepercayaan itu.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button