NASIONAL

Sama-sama Nagih Pemerintah, Ini Beda Muhammadiyah dengan NU

Jakarta (SI Online) – Beberapa waktu lalu, viral di media sosial potongan video pidato Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siradj, menagih janji Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk memberikan kredit murah sebesar Rp1,5 triliun.

Pasalnya, menurut Said, janji itu telah tertuang dalam nota kesepahaman antara PBNU dan Kementerian Keuangan.

“Pernah kami MoU dengan Menteri Sri Mulyani katanya akan menggelontorkan kredit murah Rp1,5 triliun. Ila hadza yaum, sampai hari ini, satu peser pun belum terlaksana. Ini biar tahu anda semua seperti apa pemerintah ini,” ucap Said dalam sebuah pidato yang beredar, Kamis, 26 Desember 2019 lalu.

Dalam pidatonya itu, Said mulanya bicara tentang ketimpangan ekonomi. Ia bercerita ada orang suka berfoya-foya atau menguasai jutaan hektare lahan, tapi di sisi lain ada pula yang untuk makan saja kesulitan.

Said menyebut pula soal ada 164 anak perusahaan dari PT Pertamina. Ia menganggap keberadaan ratusan anak perusahaan itu bancakan dari para direksinya.

Sementara, kata Said, organisasi kelahiran Surabaya 31 Januari 1926 yang dipimpinnya kesulitan untuk menjalankan program-program yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat karena tak kunjung mendapat bantuan dari pemerintah.

Ia menyinggung pula soal sebagian kecil masyarakat Indonesia yang menguasai mayoritas kekayaan alam. Ia mencontohkan tambang emas, batu bara, nikel, yang justru dimiliki perusahaan besar.

“Rakyat miskin ada di mana? Di tepi kekayaan, di tepi tambang, di pinggir laut, tepi hutan. Hidup dia di sebelah kekayaan alam, tapi mereka miskin. Hidup pinggirnya di tambang batu bara, tapi batu baranya milik orang Jakarta, penduduknya sama sekali tidak mendapatkan keuntungan apa-apa dari tambang di sebelahnya,” katanya.

Said menyinggung pula soal pembagian pengerjaan proyek-proyek pemerintah yang kerap dimonopoli oleh segelintir orang. Ia menilai hal ini menunjukkan sikap intoleransi ekonomi.

“Bukan toleransi agama, kami sudah paham itu, tapi toleransi ekonomi, pemerataan. “Kayla yakuuna duulatan baina minkum, jangan sampai harta dinikmati orang-orang itu saja,” ucap dia.

“Tiap proyek besar pasti bukan Haji Hasan, bukan Haji Muhammad. Pasti yang mendapat proyek besar bukan dari kita, bisa dibaca. Sampai kapan seperti ini, wallahu alam,” tuturnya.

Lain NU, lain Muhammadiyah. Bila NU menagih bantuan (baca: utangan) pemerintah, ormas Islam yang lahir 14 tahun lebih dulu dari NU itu justru mengingatkan utang pemerintah yang harus dibayarkan kepada Muhammadiyah. Alias, Muhammadiyah memiliki piutang. Nilainya tidak kecil, Rp1,2 triliun.

Adalah mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin yang menyebut bila pemerintah memiliki utang senilai Rp1,2 triliun pada ormas Islam kelahiran Yogyakarta, 18 November 1912 silam itu. Angka itu merupakan tanggungan yang harus dibayar BPJS Kesehatan ke seluruh rumah sakit milik Muhammadiyah.

“Saya mendapat penyampaian, apa betul Muhammadiyah berpiutang pada pemerintah, khususnya BPJS. Saya cek ke Ketua Pimpinan Wilayah, angkanya bukan seperti beredar 800 miliar. Itu hanya Jawa Tengah, ternyata secara keseluruhan angkanya Rp1,2 triliun,” kata Din ketika menyampaikan ceramah dalam acara Milad Ke-61 Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dan Launching Count Down Menuju Muktamar di Solo, Sabtu (28/12/2019).

Din menegaskan, nilai itu merupakan hak Muhammadiyah yang wajib dibayar oleh pemerintah.

Uniknya, lanjut Din, sebagai Ketua Ranting Muhammadiyah dirinya mengamati para pimpinan pusat, juga pimpinan wilayah yang banyak rumah sakitnya tidak terlalu menggebu-gebu menagih piutang itu pada pemerintah. Walaupun ia tahu Muhammadiyah memerlukan uang itu.

“Dalam hati saya itulah Muhammadiyah. Muhammadiyah memberi dan melayani, bukan meminta,” kata Din.

Din menegaskan, ormas yang didirikan KH Ahmad Dahlan itu akan senantiasa memberi dan melayani.

“Muhammadiyah adalah khadimur ra’iyah, khadimul umat, khadim Indonesia, bukan yang meminta apalagi mengemis-ngemis,” tandasnya.

red: farah abdillah

Artikel Terkait

Back to top button