Sandiwara, Fitnah, Hoaks dan Propaganda
Karena kekuatan rakyat yang menuntut satu manusia itu besar, tentu sangat mengherankan, kenapa pemerintah tidak melihat itu sebagai sebuah aspirasi mayoritas? Malah justru yang ada adalah menyelamatkan dengan cara menuduh kelompok aksi 411 dan 212 itu sebagai kaum intoleran dan radikal.
Untuk memperburuk itu maka Narasi kebangsaan disempitkan menjadi “Aku Pancasila, Aku Indonesia” sebuah bentuk narasi peng-AKU-an diri yang memiskinkan diskursus dan membuka celah represif terhadap lawan politik.
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai organisasi dibubarkan dengan alasan anti bhineka dan anti Pancasila dengan memberikan label sebagai organisasi radikal dan “anti NKRI”. Pembubaran HTI masih dalam proses, sembari menunggu putusan incrah dari pengadilan.
Bersamaan dengan itu, ruang demokrasi dibatasi,, forum diskusi dipersekusi, kritik dianggap sebagai kebencian, lalu mencari cara untuk melegitimasi bahwa itu tidak pantas.
Kemacetan diskursus politik menghambat laju demokrasi dan memotong perkembangan akal sehat bangsa. Sebabnya, karena semua pendapat ingin diseragamkan.
Sementara, dalam kondisi tertentu cap radikal, anti bhineka, anti perbedaan dilabelkan kepada kritikus kekuasaan, tetapi pusat kekuasaan melarang perbedaan itu dimana-mana. Bukankah ini kemacetan berpikir yang memalukan.
Model kekuasaan seperti ini hanya ada pemerintahan totaliter. Dari Zaman Fir’aun hingga Stalin telah menjadi aib kekuasaan yang dikutuk oleh sejarah sampai hari ini. Model Fir’aunisme dan Stalinisme adalah model kekuasaan yang berhasil mencipta hamba untuk menyelengarakan ritual puja-puji serta penyembah dengan “fanatisme ortodoks”
Dua imperium ini mampu melakukan pembangunan, tetapi diatas tumpukan duka dan nestapa kaum tertindas dan teraniyaya. Piramida Fir’aun dibangun diatas tumpukan tulang belulang perbudakan. Sementara Stalin telah mencipta patung-patung besar diatas tumpukan kerja paksa.