Seandainya Hizbut Tahrir dan Ikhwanul Muslimin Bersatu

Hingga pada suatu hari saya ingin lebih berperan dalam gerakan ini. Karena saat itu tidak ada buku terjemahan kitab-kitab Hizbut Tahrir, maka saya ingin membantu menerjemahkan kitab itu. Tentu bukan saya yang menerjemah, tapi saya membantu untuk menulis atau mengetiknya. Saat itu Ustadz memberikan dua kitab, satu untuk diterjemahkan Ustadz Mustafa Abdullah bin Nuh dan satu untuk diterjemahkan Ustadz Abbas Aula.
Maka saya sering datang ke rumah Ustadz Mustafa dan Ustadz Abbas. Masing-masing seminggu sekali. Ustadz Mustafa saat itu menerjemahkan kitab ‘politik internasional’ yang ditulis Taqiyuddin an Nabhani. Saya lupa judul persisnya. Sementara dengan Ustadz Abbas saya lupa judulnya.
Jadi seminggu sekali itu ustadz membacakan kitab, saya menulisnya dalam kertas. Tulisan itu kemudian di tempat kos saya ketik manual. Hasil terjemahan itu kemudian ‘dibagikan’ kepada teman-teman senior yang ikut pengajian HT.
Selain menerjemahkan, juga saya aktif ikut pengajian Ustadz Abdurrahman, Ustadz Abbas Aula, Ustadz Mustafa Abdullah bin Nuh dan Ustadz Hanan Abbas. Ustadz Abdurrahman mengajar sistem ekonomi Islam, Ustadz Mustafa mengajar Muqaddimah Dustur, Ustadz Abbas mengajar Fikrul Islam dan Haditsush Shiyam. Semua kitab yang diajarkan itu karya Taqiyuddin an Nabhani.
Sementara Ustadz Hanan mengajar Aqidah Washathiyah dan Siyasah Syar’iyyah karya Ibnu Taimiyah. Ustadz Hanan mengajar kitab ini setelah kita ‘berpisah’ dengan Hizbut Tahrir.
Perpisahan itu sebenarnya menyedihkan. Saya cukup kaget ketika beberapa teman senior mendatangi kita dan mengajak pisah dengan HT. Karena kita yunior, kita akhirnya ikut saja. Saya tadinya tidak tahu masalahnya. Beberapa saat kemudian saya baru, ternyata ada ‘perebutan kekuasaan di teman-teman senior’ untuk dekat dengan Ustadz Abdurrahman. Pengurus lama yang dekat dengan ustadz Abdurrahman dianggap ‘tidak rapi’ administrasinya, sehingga kemudian diganti dengan pengurus baru. Perpisahan itu terjadi, seingat saya tahun 1994. Jumlah yang pisah mungkin sekitar 40-an orang, senior dan yunior.
Ketika pisah itu saya sempat diskusi dengan mas Ismail Yusanto yang memutuskan untuk tetap di dalam HT. Waktu itu saya katakan, “Nggak apa-apa kan, nggak ikut gerakannya, tapi tetap mengambil pemikiran Taqiyuddin.” Ia menjawab kira-kira, ”Wah nggak bener itu.”
Waktu itu saya dekat dengan mas Ismail. Saat itu ia menjabat sebagai pemimpin redaksi Majalah Himmah, majalah Islam yang cukup bergengsi di kampus saat itu. Saya yang tercantum sebagai bagian arsip, sering ikut membuat tulisan untuk majalah itu. Kita kadang-kadang rapat redaksi di rumah mas Ismail.
Meski kita sudah pisah, kadang-kadang ustadz Abdurrahman mendatangi tempat kos kita. Mengajak dialog dan memberikan nasihat dan kisah-kisah yang menyentuh hati kita.
Perpisahan itu sebenarnya menggelisahkan jiwa saya. Pengaruh senior yang dominan saat itu, membuat saya ragu untuk memberontak. Pemikiran-pemikiran Taqiyuddin sangat menyentuh akal dan jiwa saya. Pemikirannya membuat saya semangat dalam berdakwah cukup tinggi di kampus. Di samping saya sering membuat pengajian di kampus, juga sering menulis artikel-artikel Keislaman. Ketika tingkat satu IPB, saya membuat buletin Islam dan saya namakan Al Ankabut. Tahun kedua di IPB, alhamdulillah saya telah menjadi asisten dosen Agama Islam.
Semangat mengaji kitab Taqiyuddin dan dakwah di kampus di IPB yang menggelora saat itu menjadikan kuliah saya keteteran. Saya sering terlambat masuk kuliah dan sering juga tidak hadir perkuliahan. Sehingga ketika jalan di kampus itu saya kadang ragu lulus atau tidak. Beberapa teman saya bahkan harus DO dari kampus. Alhamdulillah saya akhirnya lulus, dengan nilai yang ‘mepet’.
Pemikiran Taqiyuddin memang mendalam. Baik masalah, akidah maupun syariah. Taqiyuddin menganggap bahwa akhlak adalah bagian dari syariah. Kitab-kitabnya menggunakan bahasa Arab yang lugas mudah dimengerti. Saya tadinya tidak bisa baca kitab-kitabnya. Tapi karena saya ingin tahu langsung arti kitab itu, maka saya hampir tiap hari buka Kamus Bahasa Arab-Indonesia karya Mahmud Yunus. Alhamdulillah akhirnya saya lumayan ngerti beberapa kitab Taqiyuddin.