Seandainya Hizbut Tahrir dan Ikhwanul Muslimin Bersatu

Bayangkan, Taqiyuddin itu menulis kitab mulai dari masalah akidah, syariah, ushul fiqh, politik, politik internasional hingga pemikiran. Kitab-kitabnya itu mengajak berfikir dan menghidupkan akal (dan jiwa). Hingga ada cendekiawan menjulukinya ‘neo Muktazilah’.
Taqiyuddin memang ‘sangat fasih’ dalam menulis politik. Menurutnya, masalah yang sangat penting di umat ini adalah ketiadaan khilafah. Tanpa khilafah umat Islam menjadi pecah belah, mundur dan menjadi sasaran imperialisme Barat. Ia menulis kitab bagaimana hancurnya khilafah dan upaya membangkitkannya kembali. Ia juga menulis sistem politik Islam, sistem ekonomi Islam, sistem kemasyarakatan islam dan lain-lain.
Hebatnya Taqiyuddin, ia membentuk gerakan Islam dan juga membuat kitab-kitab pembinaan untuk kader-kadernya. Sehingga kader-kader HT mempunyai ‘fikrah yang sama’ dalam memandang kehidupan, menjalani dakwah dan melibatkan diri dalam politik. Mesti konsep Taqiyuddin dalam pembentukan khilafah itu adalah revolusi, tapi revolusi damai.
Taqiyudin menolak bila Islam hanya agama moral semata. Bagi Taqiyudin, Islam adalah agama yang merupakan solusi bagi kehidupan manusia. Ia adalah mabda’ Istimewa yang berbeda dengan paham komunis dan kapitalis/sekuleris. Ia adalah sebuah ideologi yang mencerahkan akal, menentramkan jiwa dan sesuai fitrah manusia.
Saya baru tahu kemudian, ternyata Taqiyuddin juga pernah terlibat langsung dalam upaya untuk ‘memimpin’ sebuah negara. Waktu saya kuliah di IPB saya tidak menemukan bacaan biografi Taqiyuddin.
Setelah lulus dari IPB, alhamdulillah akhirnya saya bisa menjadi wartawan. Saya menjadi wartawan Majalah Media Dakwah, majalah resmi milik Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Sebelum terjun ke dunia wartawan, saya pernah magang sekitar sebulan di sebuah LSM yang diasuh oleh Cik Azmi Abdul Hamid, di Kedah-Malaysia.
Saya sering diajak teman saya wartawan senior, almarhum Aru Syeif Assadullah, mengunjungi kediaman tokoh-tokoh senior Dewan Dakwah. Diantaranya ke Hartono Mardjono, Anwar Harjono, Cholil Badawi dan lain-lain. Dewan Dakwah adalah organisasi yang didirikan tokoh-tokoh Partai Islam Masyumi (yang dibubarkan Soekarno tahun 1960).
Disitu akhirnya saya mengenal pemikiran-pemikiran Masyumi. Terutama pemikiran politik Islamnya.
Di Media Dakwah saat itu kita ‘berperang’ dengan kelompok-kelompok missionaris dan kelompok-kelompok kiri di negeri ini. Kita sering mengulas bahaya pemikiran dan gerakan Partai Rakyat Demokratik yang saat itu dikomandani Budiman Sujatmiko. Media Dakwah juga menyajikan fakta-fakta agresifnya missionaris di berbagai daerah.
Jiwa kewartawanan saya makin terasah ketika kemudian menjadi wartawan Tabloid Abadi dan website berpolitik.com. Sekitar tahun 2000, saya menjadi reporter (sekaligus redaksi) yang meliput di Gedung DPR MPR. Saat itu yang menjadi Ketua MPR Amien Rais, Ketua DPR Akbar Tanjung dan Presidennya Gus Dur.
Waktu itu website berpolitik.com adalah media yang berooposisi kepada Presiden Gus Dur. Tiap hari kita membuat tulisan yang mengritik kebijakan presiden dan menjadikan website ini ‘cukup ternama’ saat itu menyaingi detik.com. Sayang begitu Gus Dur lengser, website ini dibubarkan. Investor website ini adalah pengusaha nasional, Setiawan Djodi.
Saat menjadi wartawan di Gedung DPR/MPR itu, aku heran wartawan kok pada ngumpul ada apa. Ternyata mereka membicarakan adanya jurusan baru untuk S2 di Universitas Indonesia, Program Kajian Timur Tengah dan Islam.