Seandainya Hizbut Tahrir dan Ikhwanul Muslimin Bersatu

Di Amerika, Qutb melihat masyarakat Amerika yang kering jiwanya. Kehidupan di Amerika seperti mesin (kerja, kerja dan kerja). Qutb menyayangkan adanya ilmuwan-ilmwuwan di dunia Islam yang takjub terhadao Amerika dan akhirnya menjadi ‘agen’ Amerika di negerinya. Kegersangan jiwa bangsa Amerika inilah yang menyebabkan Amerika terus membantu Israel dan melakukan imperialisme di dunia Islam. Maka Qutb kemudian menulis buku ‘Melihat Amerika dari Dalam’.
Setelah kembali ke Mesir, Qutb terus menulis dan berceramah menyampaikan dakwah islam. Sehingga akhirnya membuat perwira Gamal Abdul Nasser tertarik kepada Qutb dan mengajaknya untuk melakukan revolusi di Mesir.
Maka terjadilah revolusi di Mesir (1952), atas bantuan Sayid Qutb dan Ikhwanul Muslimin. Naiknya Gamal menjadi presiden. Ketika awal menjadi presiden ia berjanji untuk melindungi sepenuhnya Sayid Qutb. Qutb pun diajak Gamal untuk masuk pemerintahan. Qutb mau tapi Cuma sebentar. Ia melihat banyak kekeliruan di pemerintahan Gamal. Qutb ingin pemerintah Mesir, menjadi pemerintahan Islami. Sementara Gamal membawanya ke arah sosialis. Qutb kemudian mundur dari pemerintahan Gamal.
Qutb terus menulis tentang Islam, politik, peradaban dan lain-lain. Gamal merasa tersindir dengan tulisan-tulisan Sayid Qutb. Terutama dalam bukunya Maalim fi Thariq, Petunjuk Jalan. Maka Sayid Qutb ia tangkap dan penjarakan. Di penjara Sayid Qutb terus menulis, bahkan menyelesaikan Tafsir Fi Zhilal-nya sampai 30 juz.
Gamal makin murka. Maka ia putuskan Sayid Qutb dan teman-temannya dihukum gantung. Qutb pun tersenyum menghadapi ancaman hukuman gantung dari Gamal. Sayid Qutb tahu bahwa Gamal adalah pemimpin zalim, Firaun kecil. Ketika ada ulama yang diperintah Gamal untuk membujuk Sayid Qutb agar meminta maaf kepada Gamal, agar Qutb tidak digantung, Qutb menolaknya. Qutb yakin bahwa Gamal yang zalim dan salah bukan dirinya. Kebenaran, bagi Qutb kadang harus dibela hingga darah terakhir.
Sayid Qutb sebagaimana Hasan al Bana, tidak takut mati. Mereka berpegang teguh pada Al-Qur’an bahwa mati syahid adalah jalan terbaik bagi para pejuang Islam. Mereka tidak mau duduk hanya mengajar taklim di masjid, membiarkan masyarakat atau negara dalam kerusakan dan kezaliman. Dua ulama besar ini mendidik masyarakat dan terjun langsung ke masyarakat memperbaiki negaranya.
Mati syahid adalah kematian tertinggi dan terbaik dalam Islam. Mati syahid berjuang menegakkan ‘kalimat Allah’, menegakkan kebenaran dan melawan kezaliman, dijamin Rasulullah langsung masuk al Jannah (surga). Dua ulama besar itu meniru generasi sahabat yang berperang bersama Rasulullah melawan kaum kafir dan tidak takut mati.
وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَٰكِنْ لَا تَشْعُرُونَ
”Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS al Baqarah 154)
Ya roh-roh mereka hidup ‘menemani’ kaum Muslimin yang berjuang di jalan Allah. Buku-buku mereka dibaca dari generasi ke generasi. Murid-murid mereka mendoakan dan melanjutkan perjuangan mereka. Maka jangan heran pasukan Hammas di Gaza, yang merupakan binaan Ikhwanul Muslimin, tidak takut mati dalam menghadapi keganasan dan kezaliman pasukan zionis Israel.
Bila kita mencermati pemikiran Taqiyuddin dan Hasan al Bana, maka akan terlihat banyak persamaan. Mereka sama-sama menekankan pentingnya ilmu atau pemahaman Islam yang mendalam bagi kader-kadernya. Mereka sama-sama ingin membentuk peradaban Islam atau khilafah. Sama-sama menekankan pentingnya dakwah dan jihad dalam menegakkan Islam. Sama-sama menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik psikologi, sosial, politik, ekonomi, pendidikan dan lain-lain.
Bedanya, Hasan al Bana mengakui adanya nasionalisme. Bagi al Bana, nasionalisme tidak mengapa asal nasionalisme yang dijiwai oleh Islam. Kita cinta tanah air, karena tanah air ini adalah ciptaan Allah sehingga harus dibangun dengan nilai-nilai Ilahi. Hasan al Bana lebih dulu mengeluarkan konsep Khilafah daripada Taqiyuddin. Konsep Khilafah Hasan al Bana adalah persatuan negeri-negeri Islam (dunia Islam).
Taqiyuddin an Nabhani ini menentang keras nasionalisme. Konsep ini menurut Taqiyuddin ciptaan Barat untuk memecah belah dunia Islam. Dulu dunia Islam satu dibawah khilafah Islamiyah (misalnya di Turki). Nasionalisme adalah seperti demokrasi yang ditentang keras Hizbut Tahrir.