RESONANSI

Seberapa Bahayanya HTI?

Selasa, 8 Mei 2018 saya menyimak jurnal pagi di stasiun Berita Satu. Judul berita “SAH, HTI DIBUBARKAN”. I Wayan Sudirta kuasa hukum dari pemerintah mengatakan “Pemerintah rada terlambat membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), padahal di 21 negara sudah dilarang”. Selain itu, dia mengucapkan terima kasih karena HTI mengajukan banding atas putusan PTUN.

Pasalnya dengan melakukan langkah seperti itu, HTI mengakui sistem hukum yang berlaku di negara ini. I Wayan juga mengatakan alasan mendesak HTI harus dibubarkan karena tidak sesuai dengan ideologi Pancasila. Menurut saksi ahli, kelompok ini punya paham kafir-mengafirkan dan tidak membolehkan perempuan menjadi pemimpin.

Mencermati pemaparan I Wayan Sudirta, seakan akan ada hal-hal yang sangat mendesak sehingga eksistensi HTI berbahaya sekali dan segera dibubarkan. Paham takfiri sebetulnya dimiliki Syiah Rafidhah, bukan HTI. Saya tidak pernah mendengar dan menemukan anggota HTI melecehkan dan mengafirkan Siti ‘Aisyah, Umar dan sahabat lainnya. Adapun pendapat perempuan tidak dibolehkan menjadi pemimpin suatu negeri, ada hujjahnya. “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita”. (HR Bukhari, Ahmad, Tirmidzi, dan an-Nasa’i).

Seberapa jauh bahayanya HTI? Berdasar pengalaman saya ketika meneliti Hizbut Tahrir (tahun 2009-2010), Berikut ini saya paparkan empat hal bahaya HTI yang membuat “Rezim Mukidi” perlu membubarkannya:

Pertama, membuat seorang muslim mengalami “lompatan ideologi”. Saya kutip istilah ini dari disertasi Prof Dr Syamsul Arifin M.Si yang diterbitkan UMM Press. Yang tadinya hanya mengenal Islam sebatas ritual ibadah, berubah menjadi tercerahkan bahwa Islam adalah ideologi yang mampu menawarkan solusi jitu dibanding komunis dan kapitalis. Kedua ideologi tersebut terbukti gagal menyejahterakan umat manusia.

Kedua, kelompok HTI sangat berbahaya karena membuat seorang melek politik. Bagi kaum sekularis, amat berbahaya jika umat Islam paham dunia perpolitikan. Jika paham politik, maka tidak bisa ditipu lagi dengan sembako dan janji janji manis. HTI melalui aksi turun ke jalan dan penyebaran buletin Al-Islam. Dua cara ini bisa mempengaruhi opini publik sewaktu peristiwa santernya reklamasi dan penistaan al-Maidah ayat 51.

Selanjutnya dalam buletin Al-Islam (edisi 22 April 2016), umat yang awam menjadi sadar bahwa syariat Islam punya aturan main tentang reklamasi. Syariat Islam juga melarang keras menjadikan orang kafir sebagai auliya’. Dalam Al-Islam (edisi 2 Desember 2016), HTI dengan tegas menyerukan, “Semestinya umat tidak berhenti pada kasus penistaan Al-Quran oleh Ahok. Pasalnya, penistaan Al-Quran oleh Ahok hanyalah akibat, bukan sebab. Sebabnya adalah karena negeri ini memang sekular, yakni menjauhkan agama (Islam) dari kehidupan. Karena sekular, negeri ini dijauhkan dari Al-Quran”.

Akibat seruan inilah kelompok HTI menjadi sasaran tembak setelah dikriminalkannya Habib Rizieq, pimpinan Front Pembela Islam (FPI). Dicari-cari kesalahannya. Di propagandakan ke publik bahwa mereka anti-Pancasila dan anti-pemimpin kafir. Darimana tahu HTI anti-Pancasila jika belum melihat seperti apa isi AD/ART-nya?

Ketiga, seorang pecandu rokok menjadi tobat. Sistem ketat yang diterapkan HTI membuat calon anggota (darisin), dengan sukarela harus menerapkan ajaran Islam secara kaffah. Termasuk untuk urusan berhenti total dari merokok. Bukankah merokok itu menimbulkan kemudharatan bagi diri sendiri dan orang sekitarnya?

Bagaimana HTI menyeru dakwah bahkan menegakkan syariat Islam lewat khilafah jika ada anggotanya tidak bisa melindungi dirinya dari kemudharatan!. Hal serupa bisa kita temukan di Jamaah Tarbiyah. Melalui liqa’ dan aktivitas-aktivitas pengaderan yang ketat, bisa dijamin seorang laki-laki berhenti merokok jika bergabung ke dalam kelompok yang menjadi pondasi utama Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.

Keempat, HTI tidak mengurusi “furu’iyyah” di tengah umat. Dengan begitu, kesolidan diantara anggota dan elite-eliteHTI semakin kuat, begitu pula dengan kelompok keagamaan lain. Dalam kesehariannya anggota-anggota HTI di persoalan ritual ibadah, tidak seragam gaya dan ekspresinya sebagaimana dalam hal bidang politik. HTI tidak peduli anda shalat shubuh pakai qunut atau tidak.

Sepertinya mereka sangat dipengaruhi kultur keagamaan mereka sebelum masuk HTI. Kita harus tahu bahwa aktivis HTI dulunya ada yang berlatar belakang kultur Nahdliyin, Muhammadiyah, Persis dan kelompok keagamaan lainnya (Sumber: Jurnal Studi sosial, Th. 6, No. 2, Nopember 2014, hal 96).

Demikianlah empat hal yang menggambarkan bahayanya HTI bagi kaum sekular. Mereka tidak ingin umat Islam melek politik dan bidang-bidang lainnya. Wallahu’allam.

Fadh Ahmad Arifan
Anggota Forum Penulis Harakatuna

Artikel Terkait

Back to top button