Sebutan Media terhadap Taliban dan Dampaknya
Menyimak berita-berita dari BBC dan VOA tersebut, bisa dipahami, bahwa 80 orang tersebut dibunuh karena mereka adalah “orang-orang militan” yang “diduga dan dicurigai” sebagai simpatisan Taliban dan Al-Qaida. Karena mereka sudah mendapat cap sebagai “militan” maka mereka seolah-olah halal dibunuh.
Penggunaan istilah militan untuk pihak-pihak yang dimusuhi Israel atau AS itu mengingatkan pada buku penasihat politik Luar Negeri AS, Samuel P. Huntington dalam bukunya, “Who Are We?: The Challenges to America’s National Identity” (New York: Simon&Schuster, 2004).
Dalam buku ini, Huntington menempatkan satu sub-bab berjudul “Militant Islam vs. America”, yang menekankan, bahwa saat ini, Islam militan telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh utama AS. (This new war between militant Islam and America has many similarities to the Cold War). Juga dia katakan: “The rhetoric of America’s ideological war with militant communism has been transferred to its religious and cultural war with militant Islam.”
Huntington dan kawan-kawan dari kaum Neo-Konservatif juga menggambarkan, bahwa Islam militan jauh lebih berbahaya dari komunis. Karena itulah, untuk menghancurkan apa yang disebut Islam militan itu, maka AS menggunakan strategi ‘preemptive strike’ (serangan dini). Saat menghadapi komunis, AS hanya menerapkan strategi ‘politik pembendungan’ (containtment policy).
Menyimak istilah yang digunakan untuk Taliban oleh dua media terkenal di AS – The Washington Post dan The New York Times – kita patut menduga memang ada pergeseran kebijakan AS terhadap Taliban. Dan itu bukan hal aneh dalam perjalanan politik di AS. Ingat saja, dalam film Rambo III, begitu bersahabatnya AS dengan para Mujahidin Afghanistan. Mereka pun disebut Mujahidin. Ketika situasi berubah, berubah pula kebijakannya. Wallahu A’lam.
Solo, 24 Agustus 2021
Dr. Adian Husaini
(www.adianhusaini.id)