Secara Hakiki, Benarkah Kita Sudah Merdeka?
Sedihnya, saat pendidikan bertambah sengkarut selama pandemik. Hati rakyat kembali dibuat perih. Terdengar kabar berita, Mas Menteri Nadiem berniat menggelontorkan dana hibah Kemendikbud dalam Program Organisasi Penggerak (POP) pada Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation. (detik.com, 24/7/2020).
Padahal dana POP Rp595 miliar tidaklah sedikit. Alih-alih dana POP untuk lahan bisnis para cukong kapitalis. Tentu akan sangat bijaksana dan sangat bermanfaat, jika dana tersebut dialihkan untuk membantu anak sekolah dan guru dalam menunjang belajar daring.
Sementara di bidang sosial, imbas pandemik dan resesi ekonomi menjadikan angka kemiskinan melonjak tinggi.Tercatat jumlah penduduk miskin pada Maret 2020 sebesar 26,42 juta orang, meningkat 1,63 juta orang terhadap September 2019 dan meningkat 1,28 juta orang terhadap Maret 2019. (bps.go.id, 15/7/2020).
Kelaparan pun menjadi ancaman selama pandemik. Jauh hari sebelum pandemik, International Food Policy Research Institute (IFPRI) mengungkapkan 22 juta penduduk Indonesia mengalami kelaparan kronis. (kumparan.com, 6/11/2020). Kini, kelaparan pun diprediksi tidak jauh berbeda dengan kemiskinan yang melonjak tinggi. Kemiskinan dan kelaparan sistemik terbukti menjadi penyakit sistem rusak kapitalisme ini.
Bidang hukum pun tidak kalah miris. Hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Tajam kepada lawan dan tumpul kepada kawan politik. Penista agama dilindungi, pengkritik cepat dibui. Lihatlah bagaimana lambannya aparat menyelesaikan kasus Denny Siregar, Ade Armando dan Abu Janda. Namun, begitu sigap memproses kasus Mantan Staf Khusus Menteri ESDM, Muhammad Said Didu yang dilaporkan ke polisi atas dugaan pencemaran nama baik. (republika.co.id, 1/5/2020).
Kasus Novel Baswedan pun menunjukkan bahwa keadilan tidak lagi bergigi di hadapan hukum Indonesia. Ditambah hukum yang tidak tegas dan tidak membuat jera membuat korupsi semakin marak. Kasus Harun Masiku tidak jelas rimbanya. Kasus korupsi para elit pejabat belum juga tuntas bahkan saat wabah melanda. BUMN pun tidak lepas digerogoti tikus-tikus koruptor. Indonesia seolah menjadi surga bagi para koruptor.
Alhasil negeri ini, sebetulnya belum benar-benar merdeka. Secara fisik kita boleh saja merdeka. Namun, secara ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, hankam dan pemikiran sejatinya kita masih terjajah. Ancaman krisis multidimensi pun mengoyak kemerdekaan kita. Kemerdekaan hakiki semakin jauh panggang dari api.
Paradigma Islam memandang kemerdekaan hakiki terwujud saat manusia terbebas dari segala bentuk penghambaan dan perbudakan oleh sesama manusia. Dengan kata lain, Islam menghendaki agar manusia benar-benar merdeka dari segala bentuk penjajahan, eksploitasi, penindasan, kezaliman, perbudakan dan penghambaan oleh manusia lainnya. Sebaliknya mewujudkan penghambaan hanya kepada Allah Swt. saja. Itulah misi utama Islam. Itu pula arti kemerdekaan hakiki dalam naungan Islam.
Terkait misi kemerdekaan Islam ini, Rasulullah saw pernah menulis surat kepada penduduk Najran. Di antara isinya berbunyi:
“Amma ba’du. Aku menyeru kalian untuk menghambakan diri kepada Allah dan meninggalkan penghambaan kepada sesama hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian agar berada dalam kekuasaan Allah dan membebaskan diri dari penguasaan oleh sesama hamba (manusia). (Al-Hafizh Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, v/553).
Misi Islam mewujudkan kemerdekaan hakiki untuk seluruh umat manusia itu juga terungkap kuat dalam dialog Jenderal Rustum (Persia) dengan Mughirah bin Syu’bah yang diutus oleh Panglima Saad bin Abi Waqash ra. Pernyataan misi itu diulang lagi dalam dialog Jenderal Rustum dengan Rabi bin Amir (utusan Panglima Saad bin Abi Waqash ra). Ia diutus setelah Mughirah bin Syu’bah pada Perang Qadisiyah untuk membebaskan Persia.
Jenderal Rustum bertanya kepada Rabi bin Amir, “Apa yang kalian bawa?” Rabi bin menjawab, “Allah telah mengutus kami. Demi Allah, Allah telah mendatangkan kami agar kami mengeluarkan siapa saja yang mau dari penghambaan kepada sesama hamba (manusia) menuju penghambaan hanya kepada Allah; dari kesempitan dunia menuju kelapangannya; dan dari kezaliman agama-agama (selain Islam) menuju keadilan Islam.” (Ath-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, II/401).
Maka, kemerdekaan hakiki sejatinya dapat diraih ketika negeri ini mau tunduk dan patuh pada hukum Allah Swt saja. Ketika tuan-tuan penguasa mau mengelola negeri ini dengan syariah-Nya saja. Ketika sistem kapitalisme dicampakkan dari Ibu Pertiwi tercinta. Sehingga terwujud negeri yang baldatun thayyibah wa Rabbun ghafur. Negeri yang terang benderang oleh cahaya Islam sebab telah keluar dari gelapnya penjajahan. Inilah kemerdekaan hakiki yang diidam-idamkan oleh seorang hamba.
“Alif, laam raa. (Inilah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita menuju cahaya terang-benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji.” (TQS. Ibrahim [14]: 1).
Wallahu’alam bishshawwab.
Jannatu Naflah
Praktisi Pendidikan