Sekularisme Ancam Keutuhan Keluarga
Setiap keluarga pasti menginginkan hidup harmonis dan bahagia. Setiap pasangan suami istri saling melengkapi dan berusaha mencapai sakinah, mawadah, warohmah. Namun ketenteraman hidup berkeluarga menjadi hal yang amat sulit di zaman kapitalisme saat ini.
Angka perceraian yang cukup tinggi dan meningkat tiap tahunnya menandakan menjaga keutuhan rumah tangga saat ini adalah hal yang berat. Hampir setengah juta orang bercerai di Indonesia sepanjang tahun 2018, tepatnya sebanyak 419.268 pasangan bercerai sepanjang 2018. Dari jumlah itu, inisiatif perceraian paling banyak dari pihak perempuan yaitu 307.778 perempuan. Sedangkan dari pihak laki-laki sebanyak 111.490 orang (detik.com, 3/4/2019).
Begitu pun yang terjadi di daerah, pengadilan Tinggi (PA) Sumber, Kabupaten Cirebon mencatat angka perceraian di Kabupaten Cirebon cukup tinggi. Masuk urutan tertinggi ke-3 di Jawa Barat. Perceraian didominasi cerai gugat dari pihak istri/perempuan dan kebanyakan karena masalah ekonomi (radarcirebon, 23/9/2019).
Keluarga adalah institusi terkecil dalam masyarakat. Kehancuran keluarga akan berdampak besar bagi masa depan generasi. Meyer Elkin, seorang ahli dalam penelitian masalah keluarga, memperingatkan: ”Kita kini membesarkan generasi anak-anak dari rumah tangga yang terpecah belah—dan menciptakan suatu bom waktu masyarakat.”
Yang memprihatinkan adalah melihat mayoritas perceraian didominasi gugat cerai dari pihak istri karena faktor finansial. Sistem sekularisme yang dianut bangsa ini menjadikan kapitalis mengatur sistem ekonomi mengakibatkan beratnya pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga karena negara abai memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Sistem ekonomi kapitalis membuat kesenjangan sosial kian dalam karena kekayaan hanya dikuasai segelintir orang. Negara pun kurang membuka lapangan pekerjaan yang layak bagi para pencari nafkah.
Akibatnya perempuan yang dipandang sebagai pegiat ekonomi oleh para kapitalis harus ikut bersusahpayah mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Perempuan akan semakin banyak yang meninggalkan keluarganya untuk bekerja, baik dalam keadaan terpaksa maupun sukarela. Semakin banyak anak-anak yang kurang mendapat perhatian dan kasih sayang orang tua, sehingga akan semakin marak pula kenakalan anak-anak atau remaja dari mulai berbohong hingga terjerumus dalam kriminalitas serta pergaulan bebas selain tuntutan perceraian yang meningkat karena timbulnya konflik, salah satunya penghasilan istri yang lebih besar dibandingkan suaminya.
Sistem sekularisme menjadikan ukuran kebahagiaan adalah terpenuhinya materi sebanyak-banyaknya. Dan sistem sekuler kapitalisme memelihara kondisi lingkungan materialistis dan konsumtif hingga tingkat stres tinggi dialami para suami dan istri mengakibatkan sulitnya tercipta keharmonisan di dalam keluarga akhirnya keutuhan rumah tangga pun terancam. Keluarga dalam sistem sekular kapitalis jauh dari nilai-nilai agama, hubungan yang terjalin terjebak pada pemenuhan kebutuhan hawa nafsu dan materi semata.
Meski perceraian dibolehkan dalam Islam namun amat dibenci oleh Allah swt. Sudah seharusnya dari tiap pasangan muslim berupaya menjaga keutuhan rumah tangga. Hingga terlahir generasi terbaik yang akan membawa kemajuan bangsa. Selain dengan memupuk keimanan, ketakwaan, dan kesiapan mengarungi bahtera rumah tangga, negara memiliki peran besar untuk menyelesaikan problem tingginya angka perceraian.
Kebutuhan finansial biasa dijadikan alasan bagi perempuan untuk ikut terjun ke dunia kerja. Islam yang sempurna, mengatur agar kebutuhan finansial setiap individu warganya terpenuhi. Islam yang diterapkan dalam institusi negara, harus menjamin kebutuhan pokok warganya, mengatur kepemilikan di tengah umatnya, menyediakan lapangan pekerjaan, dan menyediakan layanan pendidikan.
Islam memberikan kewajiban untuk mencari nafkah pada kaum pria, bukan perempuan. Islam juga memberikan kewajiban bagi kerabat dekat untuk membantu saudaranya yang kekurangan. Jika kerabat dekatnya juga tidak mampu untuk membantu, maka negara berkewajiban untuk membantu rakyat miskin dengan memberikan zakat. Islam pun mewajibkan semua kaum muslim untuk membantu orang-orang miskin.
Hendaknya perempuan karir berpikir kembali untuk apa sebenarnya mereka bekerja, adakah penyusupan niat meraih prestise. Islam tidak mewajibkan perempuan untuk bekerja, dan tidak pula ada larangan dalam Islam bagi perempuan untuk bekerja. Hanya saja, sayangnya kini perempuan yang bekerja identik sebagai “alat komoditi” yang justru menguntungkan pihak kapitalis.
Islam secara sempurna mengatur peran ayah sebagai pemimpin/kepala rumah tangga yang berkewajiban memenuhi nafkah keluarga dan menjadi imam yang baik bagi istri dan anak-anaknya, menanamkan nilai-nilai Islam agar selamat dari api neraka. Peran istri tak kalah penting sebagai ummu warabbatul bait dan madrasah pertama bagi anak-anak serta memberi rasa tenteram dalam rumah. Hubungan suami istri dalam Islam bukan sekedar pemenuhan nafsu dan materi namun hubungan persahabatan saling menyayangi dan menjaga ketaatan kepada Allah agar menjadi pasangan dunia-akhirat.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (TQS. Ar Rum: 21)
Demikianlah penjagaan keutuhan rumah tangga dalam Islam, setiap peran dalam kehidupan dilakukan dalam bingkai taat kepada Allah SWT dan negara berperan besar menjaga keberlangsungan hukum Islam dijalankan dalam seluruh aspek kehidupan. Hingga tercapai keselarasan hidup dalam keluarga dan masyarakat.
Titis Afri Rahayu, S.Si