OPINI

Sengkarut BPJS Kesehatan, Negara Lepas Tanggung Jawab?

Peraturan Presiden (Perpres) 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan sudah diteken 24 Oktober 2019 lalu dan berlaku sejak tanggal yang sama. Iuran BPJS Kesehatan naik 100%. Kenaikan ini berlaku mulai pada 1 Januari 2020.

Pasal 34 beleid menyebutkan iuran peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) kelas III meningkat menjadi Rp42 ribu dari sebelumnya Rp25.500. Adapun iuran peserta atau mandiri kelas II akan meningkat menjadi Rp110 ribu dari sebelumnya Rp51 ribu. Sementara itu, iuran peserta kelas I akan naik menjadi Rp160 ribu dari yang sebelumnya Rp80 ribu.

Dampak kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini membuat warga beramai-ramai mengajukan permintaan turun kelas. Di Palembang, BPJS Cabang Palembang mencatat setidaknya sekitar 200 warga mengajukan permohon untuk turun kelas dalam sehari. Kepala Bidang SDM Umum dan Komunikasi Publik BPJS Cabang Palembang Hendra Kurniawan mengatakan, rata-rata pengajuan turun kelas itu yakni dari kelas I turun ke kelas III. (kompas.com, 13/11/2019). Jika kelas I dan II turun ke kelas III, lalu kelas III turun ke mana?

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan tidak hanya menambah beban rakyat. Rakyat pun dipaksa dan dipalak agar membayar taat iuran. Kalau tidak, denda dan sanksi menjadi ancaman yang menyusahkan. Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan aturan sanksi bagi peserta yang telat membayar iuran, masih dalam pembahasan di Kementerian Koordinasi Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) serta semua pihak.

Fachmi menambahkan sanksi bagi penunggak BPJS Kesehatan diantaranya tidak bisa mengurus perizinan pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM), Izin Mendirikan Bangunan (IMB), sertifikat tanah, sampai paspor. (2/11/2019).

Walau sanksi ini direncanakan akan berlaku di kemudian hari, tapi tak ayal membuat publik resah. Mengingat denda atau sanksi tersebut diatur oleh negara dalam PP Nomor 86 Tahun 2013 pasal 5. Di mana BPJS dibolehkan mengambil iuran secara paksa (alias memalak) dari rakyat setiap bulan dengan masa pungutan yang berlaku seumur hidup.

Iuran BPJS Kesehatan menjerat rakyat kian erat. Uang rakyat dipalak di tengah kondisi ekonomi yang kian susah. Sedihnya, uang iuran yang disetorkan kepada negara tidak akan dikembalikan. Kecuali dikembalikan dalam bentuk pelayanan kesehatan menurut standar BPJS, yaitu saat sakit saja. Itu pun dalam pelaksanaannya rakyat dihadang banyak kesulitan. Mulai dari panjangnya antrian pelayanan, ketidaksediaan obat hingga tidak semua penyakit tercover BPJS Kesehatan. Mirisnya ketika rakyat tidak bayar akan dikenakan sanksi. Dan dengan iuran yang naik dua kali lipat, dipastikan semakin mencekik rakyat.

Sengkarut BPJS Kesehatan sejatinya tidak terlepas dari ketidakbecusan negara dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan bagi rakyat. Negara tidak lagi menjadi pelayan bagi rakyat. Sebaliknya negara menjadi korporasi besar yang memiliki paradigma kapitalisme. Di mana pelayanan kesehatan menjadi lahan basah untuk dikomersialisasikan.

Negara mengalihkan tanggung jawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan rakyat ke pundak institusi yang dianggap berkemampuan lebih tinggi dalam membiayai kesehatan atas nama peserta jaminan sosial. Faktanya, atas nama Jaminan Kesehatan Nasional, program BPJS Kesehatan, sejatinya dalam praktiknya merupakan asuransi kesehatan. Di mana rakyat dipaksa membayar iuran setiap bulannya. Serta mendapat denda dan sanksi bila telat membayar. Hal ini jelas tidak dibenarkan dalam Islam, serta haram hukumnya.

Di satu sisi, Jaminan Kesehatan Nasional yang berlaku mulai 1 Januari 2014, sejatinya jebakan kapitalisme global yang mendorong Indonesia masuk dalam lingkaran setan. Sebagaimana termaktub dalam General Agreement on Trade and Services (GATS), dalam pandangan kapitalisme-neoliberalisme kesehatan adalah jasa yang harus dikomersialkan. Sementara fungsi negara, sebagaimana logika neolib Good Governance, adalah regulator (pembuat aturan) bagi kepentingan korporasi.

Terlepas dari lingkaran setan sistem kapitalisme-neoliberalisme yang menyeret negeri ke jurang kehancuran, jelas membutuhkan sistem yang mumpuni dan paripurna. Sistem yang mampu melahirkan konsep cemerlang dalam menuntaskan problematika pelik kesehatan. Dan sistem tersebut haruslah lahir dari Zat yang Maha Sempurna, Al-Khaliq Al-Mudabbir. Sistem tersebut tidak lain adalah Islam.

Dalam naungan sistem Islam, negara berfungsi dan berperan sebagai pengurus dan penjaga rakyatnya. Negara bertanggung jawab memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, tidak terkecuali kesehatan. Fungsi, peran dan tanggung jawab negara ini menjadi benteng negara bagi terjadinya komersialisasi dan industrialisasi pelayanan kesehatan.

Negara bertanggung jawab mewujudkan pelayanan kesehatan yang murah dan berkualitas, bahkan gratis. Jaminan kesehatan ini diberikan tidak hanya bagi kaum Muslimin saja, tapi juga bagi non-Muslim. Tanpa membedakan agama, bangsa, etnis, suku dan ras. Tanggung jawab negara dalam mengurus kebutuhan rakyatnya ini, ditegaskan Rasulullah Saw. dalam sebuah hadits,

“Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR. Al- Bukhari).

Urusan rakyat menjadi tanggung jawab negara, berarti haram bagi negara hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator, apa pun itu alasannya.

Pelayanan kesehatan menjadi kebutuhan pokok rakyat dan tidak untuk dikomersialkan juga ditegaskan Rasulullah Saw. dalam hadits,

“Siapa saja pada pagi hari dalam keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki makanan pada hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya.” (HR Bukhari).

Sementara pembiayaan penyelenggaraan pelayanan kesehatan diperoleh negara dari pengelolaan kekayaan alam yang menjadi kepemilikan umum. Di mana kepemilikan umum tersebut dikelola negara dengan benar. Serta distribusikan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat, termasuk untuk sektor kesehatan.

Inilah konsep cemerlang penyelenggaraan jaminan kesehatan dalam naungan sistem Islam. Konsep ini dapat terwujud jika Islam diterapkan secara kafah dalam institusi negara. Sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dan para khalifah sesudahnya. Di mana tidak hanya membawa maslahat tapi juga keberkahan. Insyaallah. Wallahu’alam bishshawwab.

Ummu Naflah
Muslimah Peduli Negeri, Mentor di AMK

Artikel Terkait

Back to top button