SUARA PEMBACA

Sengkarut Penanganan Asap di Riau

Walau seperangkat aturan telah dibuat oleh negara, namun tak pernah efektif dalam menangani kasus-kasus karhutla yang terjadi. Berbagai ancaman sederet pasal hingga sanksi pidana yang cukup berat, namun hal tersebut berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di pengadilan. Misalnya, dalam UU No. 41 tentang Kehutanan, pasal 78 ayat (3) menyebutkan, pelaku pembakaran hutan dikenakan sanksi kurungan 15 tahun dan denda maksimal 5 miliar rupiah. Sementara dalam UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, pasal 8 ayat (1) menyebutkan, seseorang yang sengaja membuka lahan dengan cara dibakar dikenakan sanksi kurungan 10 tahun dan denda maksimal 10 miliar rupiah.

Senada dengan aturan tersebut, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), pasal 108 menyebutkan, seseorang yang sengaja membuka lahan dengan cara dibakar dikenakan sanksi minimal 3 tahun kurungan dan maksimal 10 tahun kurungan serta denda minimal 3 miliar rupiah dan maksimal 10 miliar rupiah. Aturan telah ada. Namun lagi-lagi kenyataan yang terjadi jauh panggang dari api. Para pengusaha bisa leluasa bermain mata dengan pihak-pihak yang rakus dunia. Hingga aturan hanyalah sebuah stempel diatas kertas tanpa implementasi nyata.

Karhutla dalam Sudut Pandang Islam

Karhutla yang selalu terjadi di setiap musim kemarau ini bukan hanya persoalan perubahan mata rantai ekologis, tetapi ada unsur kesengajaan dari perusahaan besar. Berawal dari proses pengeluaran izin tenurial yang tidak terkendali.

Dalam sistem kapitalisme, negaralah yang memberi hak tenurial kepada perusahaan swasta bahkan asing. Aturan ini berpangkal dari pemikiran sekuler yang menjamin kebebasan kepemilikan bagi individu-individu yang memiliki kapital. Hak seperti ini dijamin oleh negara yang mengadopsi kapitalisme, sehingga para pemilik modal besar boleh dan bisa memiliki sumber daya apa saja yang dikehendakinya tanpa pembatasan. Dalam sistem ini berlaku prinsip survival of the fittest atau the might is right (siapa yang kuat, dia yang bertahan atau siapa yang kuat dialah yang benar).

Selain itu, pendekatan kapitalisme yang utilitarian (mementingkan kemanfaatan bagi didrinya) telah melahirkan sikap eksploitatif atas berbagai sumber daya alam tanpa peduli dampak yang ditimbulkan akan bisa merugikan masyarakat atau tidak. Dengan demikian, akan sangat sulit menyelesaikan persoalan karhutla ini dalam sistem kapitalisme sekuler seperti saat ini.

Islam sebagai agama sempurna yang diturunkan oleh Dzat Yang Maha Sempurna memiliki seperangkat aturan yang selama lebih dari 14 abad terbukti mampu menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan, termasuk persoalan karhutla yang tak kunjung selesai ini. Dalam hal ini, ada dua pendekatan yang bisa digunakan, yaitu pendekatan tasyri’i (hukum syara’) dan pendekatan ijrai’i (praktis).

Secara tasyri’i, Islam menetapkan bahwa hutan termasuk dalam kepemilikan umum berdasarkan sabda Rasulullah Saw: “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Sebagai milik seluruh rakyat (umum) maka konsesi kepemilikan hutan haram diberikan kepada pihak swasta baik individu maupun perusahaan. Dalam Islam, harta milik umum hanya boleh dikelola oleh negara, kemudian hasil pengelolaannya dikembalikan kepada rakyat sebagai pemilik sesungguhnya dari harta tersebut.

Sedangkan secara teknis, negara harus melakukan langkah-langkah pencegahan berupa aturan tegas yang diimplementasikan dalam setiap persoalan yang terkait. Negara juga perlu membenahi manajemen pengelolaan bencana dan menggunakan teknologi terkini, dengan melibatkan para ahli dan masyarakat umum dalam mencegah dan menanggulangi dampak kebakaran yang terjadi. Terkait dengan hal ini, negara harus memberikan porsi anggaran yang tidak kecil. Anggaran yang bisa mencukupi kebutuhan pembiayaan terhadap segala hal yang dibutuhkan, dapat diambilkan dari pos pengeluaran fai’ dan kharaj atau hasil pengelolaan harta milik umum di baitul maal.

Terkait dengan lingkungan hidup, Islam adalah agama yang mengajarkan pada umatnya untuk selalu mencintai lingkungan demi kemaslahatan bersama. Mencintai lingkungan adalah bagian dari spirit Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Berbicara tentang lingkungan artinya berbicara tentang kelangsungan hidup manusia dan alam. Melestarikan dan tidak merusak lingkungan sama artinya dengan menjamin kelangsungan hidup manusia dan segala yang ada di alam ini.

Begitu pun sebaliknya, merusak lingkungan merupakan ancaman serius terhadap keberlangsungan alam dan segala isinya. Seperti yang telah Allah SWT peringatkan di dalam QS Al A’raf ayat 56: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Mengakhiri persoalan karhutla dan penjagaan lingkungan hidup secara tuntas hanya dapat diwujudkan dengan menerapkan syariah Islam secara kaffah di semua aspek kehidupan dalam naungan sebuah sistem kenegaraan yang bernama khilafah. Hanya dengan cara inilah penyelesaian berbagai bencana, termasuk karhutla bisa diwujudkan. Wallahu a’lam bishshawaab.

Aishaa Rahma
(Pegiat Sekolah Bunda Sholihah, Malang)

Laman sebelumnya 1 2 3

Artikel Terkait

Back to top button